Penggiat film, Lola Amaria, kembali meluncurkan film terbarunya yang berjudul Lima. Selain sebagai produser, Lola juga menjadi sutradara dalam film bergenre drama keluarga tersebut. Namun sebagai sutradara, Lola tidak sendiri. Ada empat sutradara lainnya, yang ikut berperan. Mereka adalah Shalahuddin Siregar, Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo.
Mereka masing-masing menyutradarai satu dari lima bagian film ini. Lima bagian? Ya, sesuai judulnya Lima, film ini memang dapat dibagi menjadi lima bagian. Lima sendiri diambil dari lima dasar negara kita yaitu Pancasila. Jadi masing-masing bagian menggambarkan kelima sila yang ada dalam Pancasila.
Film ini memang bercerita tentang betapa pentingnya Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak dengan cara menggurui, tetapi melalui penggambaran dalam film yang sebenarnya diangkat dari contoh nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Sambung-menyambung antara bagian satu dengan bagian lainnya dilakukan dengan baik, sehingga tidak terasa bahwa film ini merupakan lima bagian yang disutradarai orang berbeda, walaupun pemeran utamanya tetap sama.
Setelah menonton dengan seksama, izinkan saya memberikan lima rekomendari untuk film Lima. Pertama, saya merekomendasikan film ini untuk ditonton oleh semua orang, apa pun latar belakangnya. Film ini memang cocok untuk semua, karena itu label "untuk 17 tahun ke atas" yang diberikan oleh Lembaga Sensor Film, patut dikaji kembali.
Soal sensor dan batas usia penonton itu memang sempat menghangat. Bahkan ada kabar sampai terjadi pertemuan dengan pihak DPR. Sesungguhnya memang tak ada yang mengerikan sampai harus dibatasi hanya boleh ditonton oleh yang sudah berusia 17 tahun ke atas. Bahkan dibandingkan dengan film Pengkhianatan G-30-S PKI, film Lima tidak ada apa-apanya dilihat dari segi kekerasan.Â
Film terdahulu itu, awalnya juga dibatasi hanya boleh ditonton 13 tahun ke atas, walau pun akhirnya jadi juga untuk semua umur. Apalagi setelah jadi tontonan wajib tiap tahun menjelang Hari Kesaktian Pancasila melalui tayangan televisi, siapa lagi yang bisa membatasi usia penontonnya?
Kedua, rekomendasi saya selanjutnya untuk film Lima adalah baik bila dijadikan bahan diskusi di kelompok-kelompok diskusi kebangsaan. Apalagi saat ini telah ada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang diketuai Dr. Yudi Latif. Agar tidak mengulang sistem "indoktrinasi" seperti pada Penataran P-4 di zaman Orde Baru, memberikan penghayatan Pancasila kepada masyarakat melalui film dan berbagai bentuk aktivitas serta produk seni budaya lainnya, rasanya lebih baik.Â
Seperti ketika menonton film Lima, tanpa terasa penonton diajak memahami bahwa apa pun agama dan suku atau rasnya, kita adalah sama-sama orang Indonesia. Penonton juga diajak mengenali masih banyaknya ketidakadilan yang terjadi, dan untuk itu orang harus berani bersuara, bukan hanya diam saja melihat ketidakadilan yang ada.
Ketiga, rekomendasi juga saya berikan untuk para anggota Gerakan Pramuka, Karang Taruna, para pelajar, dan generasi muda umumnya, untuk ikut menonton film ini. Beberapa remaja yang saya jumpai seusai menonton film ini, senada -- walau pun dengan kalimat berbeda-beda -- menyatakan rasa kebangsaan mereka semakin kuat untuk tetap mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keempat, kelima sutradara yang terlibat dalam film Lima atau pun para penggiat film lainnya, bisa mengembangkan lagi masing-masing bagian dari film tersebut menjadi masing-masing satu film utuh sendiri. Jadi akan ada lima film baru yang diangkat dari film Lima.  Misalnya, bagian yang mengisahkan sila pertama tentang Ketuhanan, bisa dikembangkan lebih luas dengan melibatkan kisah toleransi agama-agama lain serta aliran kepercayaan yang ada di Indonesia.Â