Mohon tunggu...
Berti Galang Dwi Febrianto
Berti Galang Dwi Febrianto Mohon Tunggu... Seniman - Sutradara dan Aktor dalam Teater/Film, Stage Manager.

Merupakan sutradara dan aktor yang aktif dalam kegiatan berkesenian, khususnya teater dan film. Selain itu juga bekerja sebagai stage manager atau manajer panggung. Alumni S1 Seni Teater ISI Yogyakarta tahun 2018. Saat ini sedang melanjutkan studi di Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

"Penari dan Biodata", Sejarah Tubuh dan Rasa Syukur yang Terucap

26 September 2022   15:07 Diperbarui: 26 September 2022   15:09 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Judul Pementasan (Tangkapan layar, Teater Koma, 2021)

PENARI dan BIODATA, Sejarah Tubuh dan Rasa Syukur yang Terucap.

Pertunjukan Penari dan Biodata yang diadakan dalam tajuk acara #MonologTeaterKoma diunggah pertama kali pada 6 Juni 2021 sebagai peringatan hari ulang tahun pendiri Teater Koma yaitu Nano Riantirano. Penari dan Biodata dimainkan oleh Ratna Riantiarno, yang merupakan istri dari Nano Riantiarno dan disutradarai oleh anak mereka berdua yaitu Rangga Riantiarno. Tak perlu diragukan lagi bagaimana kiprah keluarga Riantiarno ini dalam kancah perteateran di Indonesia. Seperti dalam dialog tokoh yang bermain mengatakan bahwa mereka memilih berprofesi sebagai aktivis teater.

Pertunjukan dibuka dengan cahaya menerangi tokoh perempuan yang menggunakan kostum berwarna coklat. Diperkitakan umur perempuan tersebut sekitar 60 tahun. Berdiri ditengah panggung. Lalu berdialog "Aku penari, bukan hanya menggerakkan tubuh saja. Melenggok kesana. Melenggok kemari. Tapi mata-mata Mata-mata.". Awalan yang menarik dan menggugah. Power, intonasi, dan penekanan kata menjadi hal yang membuat penulis ini kagum.  Gimmick awal pertunjukan yang mantap. Tokoh tersebut kemudian menarikan salah satu jenis tari Bali. Ini menambah kesan spesial dari gimmick yang ada. Bagi penulis hal tersebut jelas menjadi penanda bahwa Ratna Riantiarno adalah aktris senior yang secara ketubuhan sudah sangat matang. Ketubuhan yang siap dan "utuh", serta mumpuni dalam menyatukan laku, rasa dan pikirannya dalam berakting. Setelah menari, tokoh itu tertawa sembari sedikit menghela dan menata ulang napasnya. Ya, ia tak lagi cukup kuat untuk menjadi penari handal seperti saat muda dulu. "Sudah tua, tetapi semangat tetap oke", begitu tegasnya.

Kemudian tokoh bergerak ke arah kursi. Cahaya menerangi seluruh isi panggung. Terlihat poster-poster pertunjukan Teater Koma yang lalu. Sertifikat serta piala penghargaan yang terpajang sebagai tanda kejayaan yang telah diraih oleh Teater Koma. Ia duduk, minum dari gelas yang telah tersedia di atas meja. Terdapat pula pemutar piringan hitam disebelah gelas tersebut. Adegan berikutnya ia menjelaskan jenis-jenis tari yang ia bisa gerakkan. Akan tetapi ia bercerita bahwa ia tidak ingin menjadi seorang koreografer. Lalu, ia menunjukkan kemampuannya menari tari Pendet yang berasal dari Bali. "Inilah tarianku", "Tararirarirarirarirariraaa..." bunyi gamelan dibunyikan dengan cara acapela. Tubunya bergerak menarikan tarian tersebut. Sekali lagi, performa yang luar biasa diperlihatkan oleh Ratna Riantiarno. Kegesitan tubuh terkait ritme, tempo dan isian tenaga dalam motif-motif gerak yang ada. Kemampuan menginterpretasi bunyi gamelan yang kemudian dibunyikan ulang terkait dengan bagaimana pemahaman atas elemen material dan ragam bunyi yang dihasilkan. Pemahaman Ratna Riantiarno ini terkait dengan pengalaman hidupnya dalam hal riset-riset yang telah dilakukan.

Berikutnya tokoh tersebut menceritakan bagaimana pertama kali ia melihat sekelompok orang berlatih teater dan hal tersebut yang membuatnya ingin belajar teater. Hal yang menarik lagi muncul di kala tokoh mampu memimesis tokoh lain yang menjadi pelatih teater tersebut. Merubah suara menjadi serak, berat, dan berwibawa. Merubah bentuk tubuh menjadi lebih tegap. Ia menjelaskan bagaimana pentingnya konsentrasi dalam teater. Tak hanya itu, tokoh juga memimesis sosok tokoh Bapak yang kemudian penulis memaknai tersebut sebagai kritik ringan terhadap proses teater itu sendiri. "Latihan tiga bulan,  pentas cuma tiga hari", seakan-akan itu menandakan proses teater yang cukup menghabiskan waktu dan dana, tapi hasil yang bersifat material tidak sepadan dengan apa yang sudah dikeluarkan. Kondisi ini pun sampai hari ini masih sangat banyak kita temui dalam proses teater kolektif di Indonesia. Tapi nilai manfaat lah yang mungkin ingin dicapai dalam semua pola proses berteater tersebut.

Gambar 2. Tari Bali yang ditarikan oleh tokoh (Screenshot, Teater Koma, 2021)
Gambar 2. Tari Bali yang ditarikan oleh tokoh (Screenshot, Teater Koma, 2021)
Pembacaan atas dialog-dialog berikutnya berisi memoar-memoar dari tokoh yang mewakili perjalanan hidup Ratna Riantiarno sebagai aktris teater sampai kemudian membuat kelompok Teater Koma bersama Nano Riantiarno. Harapan-harapan Teater Koma dengan perkembangan perjalanannya. Keinginan memiliki gedung pertunjukan sendiri, mengajukan proposal kesana kemari, mengharap bantuan dari dana penonton-penonton. Kondisi ini juga seperti memperlihatkan kelompok sebesar apapun tetap butuh dukungan sistem yang bisa mendukung iklim teater di Indonesia. Selain itu tokoh tersebut tetap mengapresiasi penonton yang selalu hadir dan memenuhi setiap pertunjukan Teater Koma yang dihelat. Ucapan syukur pun disampaikan oleh tokoh atas semua jerih payah yang sudah dilakukan dan hasil-hasil yang didapatkan dari semua usaha, waktu, dan pengorbanan.

Segi artistik memperlihatkan detail-detail yang menarik. Penempatan kursi kayu, kursi sofa, dan meja yang berada di panggung. Susunan bingkai-bingkai poster yang dipajang sebagai background belakang panggung sangat memperhatikan pilihan susunan warna. Komposisi ukuran besar-kecil bingkai juga tidak luput diseleksi guna menghasilkan visual yang menarik. Semua dekorasi terekspos dengan penataan cahaya sebagai finishing yang ciamik. Efek lampu berbentuk lingkaran-lingkaran pada momen tokoh menari Bali dan lampu lain yang meremang memberikan penguat atas laku tokoh.

Sutradara dan sutradara video cukup lihai menetukan sudut pengambilan gambar yang digunakan. Pemilihan sudut gambar mampu menangkap momen-momen emosi yang dimunculkan oleh tokoh. Komposisi peletakan tokoh pada layar gambar menghasilkan keindahan visualnya sendiri. Misalnya memberikan ruang kosong di samping tokoh. Kesan yang didapat ialah seperti Yin dan Yang. Persis seperti bagaimana gaya sinematografi seniman-seniman film di Cina yang memegang teguh konsep itu. Transisi-transisi gambar juga membuat emosi tokoh tidak terputus. Penulis rasa kerapian ini adalah hasil buah pikir semua tim. Jelas, hal itu merupakan pekerjaan yang tidak bisa lepas di dalam sebuah proses teater. Kerja sama tim. Saling mengisi, saling memberi, dan saling memanusiakan manusia. Seperti itu teater bekerja.

Terlepas semua hal yang diucapkan di atas. Penulis merasa momen seperti ini perlu diapresiasi oleh khalayak penikmat atau pelaku teater. Monolog ini mengajarkan secara langsung dan tidak bagaimana sebaiknya seorang yang ingin berkecimpung dalam teater. Pengorbanan itu pasti. Alangkah harusnya kita untuk mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran jika kita memilih jalan berteater dalam hidup kita. Seperti harapan tokoh dan juga harapan Ratna Riantiarno serta Nano Riantiarno selaku penulis naskah bahwa kita harus menjadi aktivis teater. Memperjuangkan teater. Seperti kata Nano Riantiarno dalam buku Kitab Teater, "Jika suatu saat teater ditinggalkan, jangan salahkan teater. Salahkan ia yang mengatakan teater adalah dirinya".

Gambar 3. Ucapan Terima Kasih dari Ratna Riantiarno (Screenshot, Teater Koma, 2021)
Gambar 3. Ucapan Terima Kasih dari Ratna Riantiarno (Screenshot, Teater Koma, 2021)

Pementasan Penari dan Biodata adalah gambaran tentang penari dan tubuhnya sebagai identitas utuh. Setiap gerak tubuh penari adalah riwayat hidup yang dapat ditemui banyak sejarah tentang dirinya. Ratna Riantiarno dalam pementasan ini hadir sebagai sosok penari yang seolah sedang kilas balik mengingat gerak-gerak tubuh yang telah ia tempa sebagai proses berkeseniannya sejak lama. Setiap gerak tubuhnya adalah cerita, pengalaman, dan sejarah, yang ia tampilkan sebagai bentuk syukur telah melewati fase-fase hidup yang berharga tersebut.

Yogyakarta, 18 Mei 2022

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun