Mohon tunggu...
Berny Satria
Berny Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis bangsa

Bangsa yang Besar adalah yang berani berkorban bagi generasi berikutnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lockdown yang Setengah-setengah

27 Mei 2020   08:00 Diperbarui: 28 Mei 2020   12:25 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang menuju sore pada Minggu lalu, saya keluar karena ingin membeli obat sakit perut bagi anak saya yang balita. Sungguh saya kaget luar biasa karena jalan menuju pasar ternyata dipadati oleh motor-mobil dan orang-orang yang lalu lalang sehingga kendaraan saya terhenti. Mungkin mereka ingin membeli Takjil untuk berbuka puasa. Tapi tidakah pemahaman tentang bahayanya kerumunan orang telah dipahami mereka? Dan ketika saya melalui pos pengawasan PSBB, ternyata tidak ada satupun petugas yang berjaga disana. Hanya ada Plang berdiri di tengah jalan yang betuliskan pegawasan PSBB.

Di perumahan saya di kabupaten Bogor, kegiatan siskamling baru saja diumumkan oleh ketua RT dengan peserta dalam 1 malam jaga sebanyak 17-18 orang. Jika dibagi 2 pos, maka minimal akan berkumpul 8-9 orang. Jelas ini melanggar ketentuan PSBB yang hanya boleh berkumpul maksimal 5 orang, apalagi tak satupun dari warga yang mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker ketika ronda. Tapi tidak ada tindakan apapun dari kepala desa setempat atau pihak aparat kepolisian untuk menganulir jadwal yang membuka kemungkinan tersebarnya virus ini.

Ketika bulan Ramadhan, masih terlaksana Shalat Tharawih di banyak masjid tanpa memperhatikan protap Pencegahan Covid19, karena masih berdempetan dan banyak yang tidak menggunakan APD. Dasar yang menguatkan rakyat untuk tetap Shalat Tharawih adalah surat edaran yang dikeluarkan Majelis Ulama Indoneisa (MUI) setempat yang menyatakan bahwa Shalat Tharawih berjamaah masih boleh dilaksanakan. Padahal 1 km dari rumah saya terdapat 1 pasien positif Covid19 yang sudah dibawa ke RS untuk dikarantina. 

Jadi dalam regulasi di bidang keagamaan pun masih ambigu dan tidak tegas. Seolah ada kebijakan yang tidak tersambung antara MUI Pusat dengan MUI di bawahnya. Padahal kabupaten Bogor adalah zona merah karena sudah ada kasus-kasus masyarakat yang terjangkit Covid19.
Wajar jika banyak umat Muslim tetap keras meramaikan Masjid, karena di lain pihak Pemerintah tetap mengadakan kegiatan yang memancing berinteraksinya orang pada berbagai acara seperti konser amal yang menuai kritik pedas karena terkesan mengabaikan protap jaga jarak dan kesehatan yang diumumkannya sendiri.

Pantaslah penumpukan kerumunan orang masih terjadi di Tanah Abang dan menjadi berita heboh di berbagai media masa. Begitupula penumpukan calon penumpang di bandara Soekarno Hatta, walau hari berikutnya mulai sepi kembali. Juga mobil dan motor masih banyak berlalu lalang di jalanan. Itu semua membuat massa mengambil sikap sendiri dalam menyikapi penanggulangan wabah.

Bukan Lockdown bukan juga Herd Immunity. Tapi sedikit Lockdown Dan sedikit Herd Immunity. Atau istilahnya LockDown Banci (konotasi ambigu) karena tidak melaksanakan satu diantaranya secara total. Ingin menjamin kesehatan masyarakat, namun tetap mendapatkan angka pertumbuhan ekonomi yang cukup dalam keadaan Pandemic.


Melihat penyebaran virus Cov-2 menular dari manusia ke manusia, maka prinsip yang harus ditangani adalah manusianya agar tidak kontak/berinteraksi selama wabah menjangkit. Negara harus memberikan perhatian khusus untuk menghindari kemungkinan berkumpulnya manusia pada titik-titik tertentu. Jika ada pelanggaran pengerumunan massa maka para pelanggar harus dikenakan sangsi Pidana. Karena pembiaran aktifitas kerumunan akan menjadi Jurisprudensi legalitas bagi masyarakat untuk kembali berkerumun.

Kebijakan PSBB tidak mungkin dibatalkan karena sudah bergulir dan akan berdampak tidak produktif bagi kharisma Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kharisma kekuasaan dalam mengatur rakyatnya. Tapi ia masih bisa berjalan dengan hasil yang diharapkan, dengan beberapa cara:

1) Karantina massal selama 14 hari: Tidak boleh ada masyarakat yang keluar dari rumah selama 14 hari. Dalam kurun waktu itu, orang yang terinfeksi akan menunjukan gejala yang mudah ditemukan sesuai dengan waktu siklus virus Cov-2 untuk dapat terdeteksi. Maka institusi kesehatan dapat menjemput warga yang positif dengan membawa pesakitan ke rumah sakit karantina Covid19. Dengan demikian Pemerintah dapat memetakan letak pesakitan dan tindakan yang harus diambil untuk memutus rantai penyebarannya.

Untuk itu wajib ada call center/nomor WhatsApp yang dapat diakses siapa saja demi lancarnya hubungan antara rakyat dengan institusi berwenang atas penanganan wabah ini.

Bagi mereka yang harus keluar guna tuntutan pekerjaan, harus dapat menunjukan dokumen sah dari instansi/perusahaan tempat ia bekerja tentang keharusannya keluar untuk bekerja kepada petugas yang menjaga di titik-titik yang ditentukan. Jika tidak maka ia akan terkena sangsi hukuman yang tegas, termasuk kurungan penjara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun