Mohon tunggu...
Bernard Mbuik
Bernard Mbuik Mohon Tunggu... Dosen dan Dekan FKIP Universitas Citra Bangsa

Saya adalah seorang dosen Manajemen Pendidikan yang aktif mengajar dan meneliti isu-isu pendidikan kontekstual di wilayah Indonesia Timur, khususnya Nusa Tenggara Timur. Saya percaya bahwa pendidikan tidak hanya soal angka, tapi tentang keberpihakan pada kemanusiaan dan keadilan. Saya menyukai aktivitas menulis opini, mengembangkan modul ajar berbasis budaya lokal, serta berdialog dengan guru-guru di lapangan. Topik favorit saya mencakup kebijakan pendidikan, kepemimpinan sekolah, pendidikan karakter, serta spiritualitas dalam dunia pendidikan. Di luar akademik, saya menikmati membaca buku filsafat pendidikan, menonton dokumenter sosial, dan menjelajahi kampung-kampung di pedalaman untuk belajar langsung dari kehidupan. Saya percaya bahwa suara dari daerah seharusnya punya ruang di percakapan nasional — dan tulisan saya adalah upaya kecil untuk itu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hela Kefa: Fondasi Kepemimpinan Pendidikan Berbasis Budaya Lokal di NTT

21 Juli 2025   19:30 Diperbarui: 21 Juli 2025   19:30 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan: Pendidikan yang Berakar atau Terasing?
Pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) menyimpan potensi besar untuk menjadi ruang pembentukan manusia yang berkarakter, bermartabat, dan berakar pada nilai budaya lokal. Namun, faktanya, sebagian besar praktik kepemimpinan pendidikan di daerah ini masih terjebak dalam pola yang birokratis, formalistik, dan cenderung mengabaikan konteks sosial-budaya masyarakatnya. Kepala sekolah sering diposisikan hanya sebagai eksekutor kebijakan pusat, bukan sebagai pemimpin yang membangun relasi sosial dan budaya di komunitasnya.
Padahal, masyarakat NTT, khususnya suku-suku di Timor, memiliki sistem nilai yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi model kepemimpinan pendidikan yang lebih kontekstual dan relevan. Salah satu warisan budaya tersebut adalah Hela Keta, sebuah sistem relasi sosial yang telah mengatur kehidupan masyarakat Timor secara turun-temurun. Sayangnya, nilai-nilai luhur ini belum banyak diintegrasikan ke dalam tata kelola pendidikan di tingkat sekolah dasar hingga menengah. Artikel ini hendak mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana prinsip-prinsip Hela Keta dapat diadaptasi sebagai model kepemimpinan pendidikan berbasis kearifan lokal.

Memahami Hela Keta: Lebih dari Sekadar Tradisi Perkawinan
Secara umum, masyarakat luar sering memahami Hela Keta hanya sebatas adat perkawinan Timor, di mana Hela berarti pihak pemberi perempuan (wife giver) dan Keta adalah pihak penerima perempuan (wife taker). Namun dalam realitas sosial masyarakat Timor, Hela Keta bukan sekadar urusan adat pernikahan. Ia adalah sistem relasi sosial yang membentuk jaringan solidaritas antar marga, membangun kesepakatan hidup bersama, dan menjadi mekanisme sosial untuk mengelola konflik, menjaga harmoni, serta mempererat ikatan sosial antar komunitas.
Relasi Hela Keta melahirkan prinsip resiprositas (timbal balik) yang kuat. Jika satu pihak berduka, pihak lainnya wajib hadir. Jika ada pesta adat, kedua belah pihak saling membantu. Dalam konflik, Hela dan Keta bertindak sebagai penengah, menjaga agar perbedaan tidak berujung pada perpecahan. Hubungan ini terus berlangsung lintas generasi sebagai bagian dari sistem sosial yang dinamis.
Dalam perspektif sosiologi pendidikan, Hela Keta sesungguhnya memuat unsur-unsur kepemimpinan transformatif yang menekankan relasi sosial, kolaborasi, serta pembelajaran bersama. Di sinilah letak relevansinya untuk dijadikan kerangka kepemimpinan pendidikan yang kontekstual di NTT.

Kepemimpinan Pendidikan: Bukan Hanya Mengelola, Tapi Membangun Komunitas
Kepemimpinan pendidikan seharusnya tidak dipahami sebatas urusan administratif atau pengelolaan kurikulum. Lebih dari itu, kepala sekolah adalah pemimpin komunitas belajar. Dalam literatur pendidikan, Fullan (2001) menekankan bahwa pemimpin pendidikan adalah agen perubahan sosial yang bertugas membangun budaya kolaboratif, memperkuat partisipasi, dan menciptakan lingkungan belajar yang bermakna.
Dalam konteks ini, nilai-nilai Hela Keta dapat diadopsi sebagai model kepemimpinan pendidikan yang kontekstual dan relevan di NTT:
1. Solidaritas dan Gotong Royong
Hela Keta mengajarkan prinsip gotong royong dan solidaritas. Kepala sekolah harus mempraktikkan nilai ini dalam membangun kolaborasi dengan guru, siswa, orang tua, dan masyarakat. Semua pihak adalah bagian dari ekosistem pendidikan yang harus dirangkul, bukan didominasi. Seperti dalam hubungan Hela dan Keta, tidak ada pihak yang lebih tinggi atau lebih rendah, tetapi semua saling membutuhkan.
2. Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan
Seperti musyawarah dalam Hela Keta, kepala sekolah seharusnya melibatkan seluruh elemen sekolah---guru, staf, komite sekolah, dan orang tua---dalam perencanaan program sekolah. Kepemimpinan partisipatif ini sejalan dengan konsep distributed leadership yang saat ini menjadi salah satu pendekatan kepemimpinan modern di dunia pendidikan (Spillane, 2006).
3. Penghargaan terhadap Peran Sosial
Setiap anggota komunitas sekolah memiliki peran sosial yang harus dihargai. Dalam Hela Keta, setiap keluarga besar memiliki fungsi sosial yang berbeda namun saling melengkapi. Kepala sekolah harus mampu memetakan dan menghargai peran guru, staf, komite, dan masyarakat sebagai bagian dari sistem pendidikan yang holistik.
4. Pewarisan Nilai Budaya dan Spiritualitas
Sekolah bukan hanya tempat mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga arena pewarisan nilai dan karakter. Kepala sekolah harus menjadi penjaga nilai budaya dan spiritualitas lokal agar proses pendidikan tidak tercerabut dari akar masyarakatnya. Ini selaras dengan gagasan pendidikan kontekstual (contextual teaching and learning) yang menekankan pentingnya mengaitkan pembelajaran dengan lingkungan sosial budaya peserta didik (Johnson, 2002).

Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal: Kebutuhan Mendesak, Bukan Alternatif
Dunia pendidikan Indonesia, khususnya di NTT, kini menghadapi krisis karakter dan makna. Sekolah cenderung sibuk mengejar nilai akademik, menghafal kurikulum, tetapi lupa membangun manusia yang berakar pada budaya dan nilai lokal. Konsep kepemimpinan pendidikan berbasis Hela Keta adalah jawaban untuk mengatasi hal ini.
Jika kepemimpinan pendidikan hanya mengandalkan model dari luar yang bersifat struktural-birokratis, maka sekolah akan kehilangan relevansinya di tengah masyarakat lokal. Kepala sekolah menjadi asing di mata komunitasnya sendiri, dan proses pendidikan kehilangan fungsi sosialnya. Banks (2008) menyebut bahwa pendidikan yang tidak sensitif terhadap budaya lokal cenderung meminggirkan identitas peserta didik dan gagal membentuk keutuhan manusia.

Implikasi Teoritis dan Praktis
Mengadopsi nilai Hela Keta dalam kepemimpinan pendidikan bukanlah tindakan romantisasi budaya semata, tetapi merupakan upaya membangun model kepemimpinan yang:
*Inklusif: Melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam pengambilan keputusan.
*Kolaboratif: Mendorong kerja sama yang harmonis antar pihak.
*Berbasis Etika Relasi: Mengutamakan rasa hormat, saling menghargai, dan gotong royong.
*Konstekstual: Relevan dengan realitas sosial masyarakat NTT.
Model ini dapat dikembangkan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan kepala sekolah dan pelatihan manajemen berbasis budaya lokal di NTT. Dengan demikian, kepemimpinan pendidikan tidak lagi sekadar mengikuti regulasi teknokratis, tetapi menjadi gerakan budaya yang membangun karakter masyarakat.

Penutup: Saatnya Memulai dari Diri Sendiri
Sudah saatnya kepala sekolah, guru, dan pemimpin pendidikan di NTT berhenti mengimpor model kepemimpinan yang tidak sesuai dengan konteks lokal. Kita memiliki kekayaan budaya yang dapat menjadi sumber inspirasi kepemimpinan bermartabat. Hela Keta adalah salah satu warisan terbaik yang dapat dijadikan fondasi kepemimpinan pendidikan yang berkarakter, beretika sosial, dan relevan dengan realitas masyarakat.
Jika kita mau memulai dari sekarang, sekolah tidak hanya menjadi tempat mengejar nilai akademik, tetapi juga menjadi ruang pembentukan karakter dan komunitas yang berakar kuat pada budaya lokal. Pendidikan berbasis nilai Hela Keta adalah jembatan menuju peradaban yang lebih bermartabat.

Referensi:
*Banks, J. A. (2008). An Introduction to Multicultural Education. Pearson.
*Fullan, M. (2001). Leading in a Culture of Change. Jossey-Bass.
*Johnson, E. B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It's Here to Stay. Corwin Press.
*Spillane, J. P. (2006). Distributed Leadership. Jossey-Bass.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun