Mohon tunggu...
Berliani November
Berliani November Mohon Tunggu... Mahasiswa : komunikasi

Tak sekadar menulis, tapi mencoba memahami dunia lewat kata.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Thailand-Kamboja Terjebak Perang Informasi Meski Gencatan Senjata Berlangsung

21 Agustus 2025   07:53 Diperbarui: 21 Agustus 2025   07:53 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gencatan senjata yang rapuh antara Thailand dan Kamboja tetap bertahan meskipun mereka saling tuduh setiap hari sumber: Getty

Bangkok - Pertempuran fisik di perbatasan Thailand-Kamboja telah berakhir sejak gencatan senjata tak bersyarat diberlakukan pada 28 Juli lalu, namun kedua negara tetangga ini kini terlibat dalam pertarungan baru yang tidak kalah sengitnya: perang informasi.

Kamboja Unggul dalam Diplomasi Digital

Pengamat media Thailand mengakui bahwa negara mereka sedang berada di posisi yang kurang menguntungkan dalam pertempuran narasi publik. Clare Patchimanon, seorang analis media, menyebut Kamboja tampak "lebih lincah, lebih tegas, dan lebih melek media" dalam menyampaikan pesannya kepada dunia.

Kamboja, di bawah arahan mantan pemimpin Hun Sen yang masih berpengaruh kuat, telah melancarkan kampanye media sosial yang agresif. Hun Sen secara rutin memposting tuduhan dalam bahasa Khmer dan Inggris di akun Facebook pribadinya, lengkap dengan foto dirinya dalam seragam militer dan peta-peta strategis.

Sebaliknya, respons Thailand cenderung berupa pernyataan resmi yang kering dan statistik, yang berasal dari berbagai sumber tidak terkoordinasi - mulai dari militer, pemerintah daerah, hingga kementerian luar negeri.

Disinformasi dan Tuduhan Palsu

Kampanye informasi Kamboja tidak selalu akurat. Mereka pernah mengklaim jet tempur F-16 Thailand ditembak jatuh dengan mengunggah foto pesawat terbakar yang ternyata berasal dari Ukraina. Tuduhan penggunaan gas beracun oleh Thailand juga disertai gambar pesawat pemadam kebakaran yang menjatuhkan cairan merah muda di California.

Russ Jalichandra, Wakil Menteri Luar Negeri Thailand, mengakui kesulitan negaranya menghadapi taktik semacam ini. "Yang kami sampaikan harus kredibel dan dapat dibuktikan. Itulah satu-satunya senjata yang bisa kami gunakan, meski terkadang tampak tidak cukup cepat," katanya kepada BBC.

 Krisis Politik Internal Thailand

Situasi diperburuk oleh kebocoran percakapan telepon antara Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra dengan Hun Sen pada Juni lalu. Dalam pembicaraan itu, Paetongtarn mengeluh bahwa jenderal militer Thailand yang memimpin pasukan perbatasan menentangnya.

Kebocoran tersebut menyebabkan kekacauan politik domestik dan akhirnya membuat mahkamah konstitusi menskors Paetongtarn, tepat ketika krisis perbatasan mencapai puncaknya.

Sengketa Ranjau Darat Jadi Senjata Baru

Thailand kini menggunakan isu pemasangan ranjau darat sebagai senjata diplomatik. Kedua negara adalah penandatangan Konvensi Ottawa yang melarang penggunaan ranjau anti-personel, namun Thailand menuduh Kamboja memasang ranjau baru di sepanjang perbatasan.

Pihak militer Thailand memamerkan puluhan ranjau PMN-2 buatan Rusia kepada diplomat dan jurnalis, yang diklaim baru dipasang oleh tentara Kamboja. Beberapa ranjau masih terlihat baru dan belum dipasang, sementara yang lain sudah ditanam dan dipersenjatai.

Kamboja awalnya menyangkal tuduhan ini, menyebut ranjau-ranjau tersebut sisa perang sipil tahun 1980-an. Namun bukti yang ditunjukkan Thailand menunjukkan ranjau yang baru dipasang.

Dampak Ekonomi dan Kemanusiaan

Konflik ini telah menimbulkan dampak ekonomi serius. Ratusan ribu pekerja migran Kamboja telah meninggalkan Thailand, yang akan memukul ekonomi Kamboja yang sudah berjuang. Sementara itu, animositas nasionalis antara kedua negara semakin menguat.

Sebastian Strangio, penulis buku "Hun Sen's Cambodia," menilai Hun Sen sangat cerdik menggunakan taktik asimetris untuk memperlebar perpecahan yang sudah ada di Thailand. "Kemampuan Kamboja bermain sebagai korban memberikan senjata yang kuat melawan Thailand di arena internasional."

Akar Sejarah Sengketa

Sengketa perbatasan ini berakar pada perjanjian Franco-Siam tahun 1907, ketika Thailand terpaksa menyerahkan wilayah untuk menghindari penjajahan Prancis atau Inggris. Trauma kehilangan kuil Preah Vihear kepada Kamboja melalui keputusan Mahkamah Internasional pada 1962 masih membekas dalam ingatan kolektif Thailand.

Kini Kamboja ingin menginternasionalkan sengketa dengan melibatkan Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Internasional, sementara Thailand tetap bersikeras penyelesaian bilateral melalui Komisi Perbatasan Bersama.

Masa Depan yang Tidak Pasti

Meski gencatan senjata tak bersyarat telah berlaku sejak 28 Juli dan pemantau ASEAN akan ditempatkan, prospek penyelesaian jangka panjang masih suram. Kedua belah pihak menggambarkan perbatasan sebagai "garis pemisah sakral" yang menyentuh identitas nasional paling dalam.

Selama isu ini terus menjadi alat politik domestik dan tidak ada yang mau mundur selangkah, perang kata-kata kemungkinan akan terus berlanjut meski senjata telah terdiam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun