Aku juga suka bagaimana drama ini nggak terburu-buru dalam mengungkap misteri. Setiap episode punya build-up yang kuat. Kita dibawa masuk pelan-pelan ke dalam dunia Jihad Ummah, merasakan bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan pemimpin yang seolah suci, tapi ternyata penuh manipulasi. Nuansa dramanya pekat banget, dan cinematography-nya juga mendukung suasana gelap dan menegangkan. Musik latar yang menghantui juga sukses bikin bulu kuduk berdiri.
Meskipun drama ini masih ongoing, aku udah bisa merasakan betapa kuatnya pesan yang ingin disampaikan. Menariknya lagi, BID'AH ini mengingatkanku pada beberapa karya dari negara lain yang juga mengangkat tema serupa tentang sekte, manipulasi keagamaan, dan perempuan yang melawan.
Contohnya, di Barat ada film The Other Lamb yang berkisah tentang seorang gadis muda yang tinggal dalam sekte religius yang dipimpin oleh seorang pria yang disebut "The Shepherd." Ia perlahan menyadari kekacauan dan ketidakadilan dalam kelompok itu dan mulai memberontak. Visualnya artistik banget dan nuansanya kelam, mirip seperti BID'AH. Kalau kamu suka visual-visual puitis yang penuh simbolisme, kamu pasti suka film ini.
Lalu di Korea Selatan, ada drama Save Me cerita tentang seorang perempuan yang keluarganya terjebak dalam sekte yang sangat berbahaya. Dia harus pura-pura taat sambil mencari jalan keluar. Setiap episode penuh ketegangan dan bikin penonton geregetan, sama persis dengan perasaan yang aku rasakan waktu nonton BID'AH. Bahkan vibes-nya tuh bikin kita merasa pengap, kayak nggak bisa bernapas.
Di India, film Maharaja juga mengangkat tema pemimpin spiritual palsu yang memanipulasi pengikutnya demi kekuasaan dan uang. Walau dibalut dalam gaya sinema Bollywood, esensinya tetap sama: tentang bagaimana manusia bisa dibutakan oleh dogma yang salah arah. Aku rasa budaya berbeda tapi luka dan manipulasi itu universal.
Indonesia juga nggak ketinggalan. Film Mengaku Rasul adalah contoh nyata bagaimana penipuan berkedok agama bisa menghancurkan banyak orang. Film itu sempat bikin heboh karena mengangkat kisah nyata, dan mirip dengan BID'AH, mengajak kita berpikir lebih kritis tentang siapa yang pantas disebut pemimpin rohani. Bahkan sampai sekarang, aku masih ingat dialognya yang bikin hati teriris.
Setelah nonton semua itu, BID'AH tetap punya tempat spesial di hatiku karena kekuatan narasinya yang terasa sangat dekat. Baiduri bukan hanya karakter fiktif dia bisa jadi siapa saja. Bisa jadi tetangga kita, saudara kita, bahkan diri kita sendiri. Dan Walid, sayangnya, juga bukan tokoh rekaan yang sepenuhnya mustahil ada. Dunia ini memang nggak kekurangan orang-orang yang menyalahgunakan kepercayaan demi keuntungan pribadi.
Yang bikin aku excited banget selama nonton BID'AH adalah gimana alurnya nggak langsung kasih semua jawaban. Setiap episode bikin penasaran. Kadang aku geram sendiri karena Walid seakan selalu berhasil memanipulasi semua orang, termasuk istri-istrinya. Tapi di sisi lain, aku juga merasakan kekaguman sama karakter seperti Hambali yang perlahan mulai sadar dan berusaha memperbaiki keadaan. Drama ini bikin aku senang, sedih, dan kesal semuanya campur aduk. Dan itu yang bikin aku merasa hidup sebagai penonton. Nggak cuma duduk pasif, tapi benar-benar ikut merasakan.
Aku bahkan sampai bikin teori sendiri di kepala. Apakah Baiduri akan berhasil membongkar semuanya? Apakah Hambali akan benar-benar melindunginya? Atau akan ada twist menyakitkan di akhir? Setiap kali episode baru tayang, aku langsung buka VIU tanpa pikir panjang.
Pesanku buat dunia sekarang, terutama buat kita para perempuan dan generasi muda: jangan pernah berhenti bertanya. Jangan gampang tunduk pada orang yang cuma terlihat religius atau karismatik di luar. Gunakan akal, nurani, dan keberanian untuk mempertanyakan hal-hal yang terasa janggal. Karena terkadang, justru yang diam dan terlihat paling suci, menyimpan niat yang paling kelam.
Aku salut banget sama tim produksi BID'AH karena berani mengangkat tema sensitif ini. Semoga semakin banyak karya seperti ini yang bisa menggugah kesadaran, bukan cuma buat kita sebagai individu, tapi juga sebagai masyarakat. Karena tontonan itu bukan cuma buat hiburan. Tontonan bisa jadi cermin, bisa jadi pelajaran, bahkan bisa jadi gerakan.