Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Menjadi Guru Muda Saat Masih SMP

25 November 2021   21:35 Diperbarui: 26 November 2021   00:35 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru muda (Pxels.com/Andrew Piacquadio)

Selamat Hari Guru bagi guru di seluruh Indonesia. Pengalaman menjadi guru pada usia sangat muda pernah saya rasakan dan tak terlupakan karena diikuti kejadian yang membuat saya menyesal setelahnya.

Tanggal 25 November selalu menjadi tanggal spesial buat saya. Saya berasal dari keluarga guru. Ibu dan almarhum ayah saya dulunya berprofesi sebagai guru. 

Tanggal tersebut juga adalah peringatan hari kelahiran almarhum ayah. Jadi setiap tanggal 25 November selalu ada perayaan kecil di rumah untuk merayakan keduanya.

Sepertinya saya pun memiliki sedikit warisan talenta sebagai guru. Meskipun saya tidak pernah menjadi guru di sekolah formal, saya pernah menjadi guru Sekolah Minggu saat mahasiswa dulu. Setelah menikah dan sebelum pandemi saya pun menyambi menjadi guru les.

Namun, pengalaman yang tak terlupakan adalah ketika seorang guru meminta saya dan dua orang teman lainnya untuk menjadi "guru" bagi teman-teman sekelas kami. Ketika itu saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP (kelas VIII sekarang).

Mata pelajaran yang kami ajarkan adalah satu mata pelajaran (mapel) yang terlihat cukup mudah tetapi krusial, karena nilainya tidak boleh merah di rapor. Andaikata nilainya merah, yakni nilai lima ke bawah, otomatis siswa tidak akan naik kelas.

Jumlah siswa dalam satu kelas dibagi ke dalam tiga kelompok. Saya dan dua teman saya menjadi guru di setiap kelompok. 

Selama beberapa bulan menjelang kenaikan kelas, saya mengajar dua kali seminggu pada sore hari, dengan mengambil tempat di salah satu ruang kelas di sekolah.

Ketika itu saya benar-benar menjadi guru di depan kelas. Materi yang diajarkan diambil dari kumpulan soal-soal yang telah disiapkan guru mapel tersebut sebelumnya. Tugas saya hanyalah menuntun teman-teman untuk menemukan jawaban yang benar dari setiap soal.

Saya sebenarnya tidak mengerti mengapa untuk mata pelajaran yang cukup mudah menurut saya harus diberi pelajaran tambahan.

Saya menduga ini adalah proyek sang guru. Mungkin beliau ingin mengetahui seberapa besar pengaruh pelajaran tambahan terhadap nilai siswa-siswanya.

Setelah kegiatan tersebut berjalan beberapa minggu, sekali waktu pak guru kami ini bertanya kepada saya apakah saya menemukan kesulitan saat mengajar. Beliau juga bertanya siapa siswa yang sering membuat saya kesulitan di dalam kelas.

Di situlah bodohnya saya, saya menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat polosnya.

Kebetulan ada satu teman laki-laki yang sering sekali usil ksetiap kali saya mengajar. Sebut saja namanya Badu.

Setiap kali saya mengajar, Badu selalu mengganggu, membuat suasana gaduh, dan membuat lelucon-lelucon berkaitan dengan materi pelajaran. Aksi Badu ini sering menyebabkan teman-teman lain tidak fokus. 

Saya pun akhirnya menyebutkan nama Badu ketika pak guru menanyakannya saat itu. Tidak pernah terlintas dalam benak saya kalau jawaban saya tersebut bisa berakibat sangat fatal.

Sampai pada puncaknya tiba kenaikan kelas. Saat pembagian rapor saya tidak tahu apakah ada di antara teman-teman saya yang tidak naik kelas karena yang mengambil rapor adalah orangtua.

Setelah liburan kenaikan kelas, di hari pertama tahun ajaran baru di kelas tiga barulah saya tahu, bahwa satu-satunya siswa yng tidak naik ke kelas tiga dari kelas kami adalah Badu.

Saya sempat kaget sesaat ketika mengetahui itu. Pikiran saya pun melayang pada kegiatan ajar mengajar di kelas dua sebelumnya. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati apakah saya yang menyebabkan Badu tidak naik kelas. Apakah nilai Badu untuk mata pelajaran tersebut merah sehingga Badu tidak naik kelas?

Saya memang tidak tahu persis penyebab Badu harus mengulang kembali di kelas dua. Karena tentu tidak mudah bagi guru maupun wali kelas untuk menentukan seorang siswa harus tinggal kelas.

Mungkin memang Badu rada bandel. Mungkin juga nilai-nilai Badu tidak memungkinkan untuk naik kelas, atau mungkin ada pertimbangan lain dari guru, saya tidak pernah tahu. 

Namun, tetap saja saya mengaitkan penyebab tinggal kelasnya Bayu saat itu adalah karena jawaban saya sebelumnya kepada guru.

Sempat timbul penyesalan, mengapa saya begitu polosnya. Sebenarnya Badu tidaklah nakal, hanya perlu bimbingan lebih dari orangtua dan guru. Namun di luar itu, mungkin guru punya pertimbangan lain.

Mungkin jawaban saya sebelumnya hanyalah faktor pendukung, entahlah. Rasa penasaran itu tidak pernah terjawab hingga kini.

Melalui kejadian itu, saya akhirnya belajar satu hal. Kita memang harus jujur dalam segala hal. Hanya saja, dalam kejujuran juga harus menyertakan nilai-nilai "cinta kasih" kepada sesama, termasuk kepada teman.

Seharusnya saya tidak menyebut nama Badu ketika guru bertanya. Seharusnya juga saya menganggap usilnya dan gaduhnya Badu sebagai hal biasa bagi anak usia remaja. 

Akan tetapi, apa mau dikata, usia saya ketika itu pun masih sangat muda, baru 14 tahun. Nalar saya belum sampai ke sana. Belum ada pertimbangan hingga sejauh itu.

Kalau Badu membaca tulisan saya ini, saya mohon maaf ya Badu. Saya yakin, kejadian tersebut hanyalah sandungan kerikil kecil dalam perjalanan kehidupanmu. Saya pun yakin kamu sudah menjadi orang hebat saat ini.

Sekali lagi, selamat Hari Guru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun