"Apa sih yang menjadi motivasi lu untuk  giat belajar? Huh!" Muncul pertanyaan dalam hati. "Apakah karena ingin nilai yang bagus serta pengakuan dari orang lain? Bukankah itu semua adalah tindakan yang sia-sia? Ah, siapa pun pasti tahu apa sebabnya. Di dunia yang pelik lagi sulit ini, skill adalah penentu hidup dan mati. Angka di selembar kertas tiada jadi penentu. Akan tetapi, kiranya angka di selembar kertas itu bukan sekedar angka, tetapi juga realita kemampuan yang kau miliki."Â
Aku menatap jam dinding, tak berkedip, menunggu jarum menunjukkan menit sampai ke angka tujuh. "Ah.., lelahnya! Saatnya tidur." Ucapku sambil beranjak ke ranjang. Â Namun, saat hendak merebahkan badanku, aku teringat bahwa tadi pagi ada seorang mahasiswi yang memberikanku sepucuk surat. Tidak langsung kubaca, karena dilarang olehnya. Aku pun memang tidak berniat ingin membacanya langsung.Â
Sekali lagi, aku harus menahan mata ini untuk tidur. Gara-gara surat ini, membuatku gugup dan penasaran. Apakah ini adalah surat cinta? Ah, sepertinya aku tidak sepopuler itu. Ah, sudahlah, sebelum berasumsi yang aneh-aneh, ku putuskan untuk membukanya segera.Â
"Untuk bang Gojali. Salam hormatku sebelumnya, sudah lama ingin ku ungkapkan rasa yang bersemayam di hati". Eits! Sepertinya surat ini terlalu berbahaya untuk dilanjutkan. Kasian jantungku yang haru bekerja lebih keras di tengah malam ini. Tetapi, ah..,ya sudahlah kita lajutkan saja.Â
"Kemarin sore aku melihat bang Gojali berboncengan dengan seorang laki-laki, Â Ian namanya." Alamak! Kayaknya makin ke sana makin melenceng ini. Aku pun memutuskan membaca tanpa merasa gugup lagi. Toh ini pasti mau minta diperkebalkan olehku. Tetapi.., kenapa dia bisa kenal nama adik tingkat yang ku bonceng kemarin sore?
"Aku sangat berterimakasih kepada bang Gojali karna sudah mengantarkan adikku." Ohh...Hah? "Sebenarnya, aku ingin turut mengundang bang Gojali untuk bergabung dengan organisasi kami, Avager (Available Agent Thinker). Besok, di di kantin, berikan jawabannya. Terima kasih, hormat saya. Juwi Sanita."Â
Kecewa hatiku.Â
Tanpa sepatah kata pun lagi, aku pun segera merebahkan badan ku di atas kasur yang empuk. Besok, ada hari yang harus dihadapi. Tapi, membuatku bingung juga, bagaimana cara ku untuk menghadapi mahasiswi itu ya.Â
"Oh, iya. Aku ada surat yang belum dibaca lagi." Dengan berat hati aku harus menggerakkan badanku sekali lagi. Kubuka laci yang dipenuhi tumpukan kertas yang mulai menguning. Aku berusaha menggeledahi laci untuk mendapatkan sepucuk surat sampai dua pekan lalu. Hahaha, beginilah aku, sangat pelupa. Â
"Mana sih.., oh akhirnya dapat juga!"Â
Aku pun memperhatikan surat itu. Hmm, lumayan tebal sih. Aku pun menerawang, ternyata tidak terterawang sama sekali. Benar-benar kertas berkualitas. Aku pun memperhatikan pola-pola mawar timbul pada bagian perekat. "Wah, sepertinya aku telah melewati undangan presiden nih...Gawat."