Mohon tunggu...
dohirul amri
dohirul amri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Dohirul

Belajar menulis dan merangkai kata. Belum mengalir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tenggelam Tertelan Bumi

16 Oktober 2021   20:00 Diperbarui: 16 Oktober 2021   20:05 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bumi menggila. Alam kembali mengambil apa yang telah dirampas darinya. Orang orang berlarian penuh kepanikan. Teriakan seakan tiada berarti. Semua menjadi tuli, karena tiap suara yang keluar melalui tenggorokan kembali tercerabut oleh dorongan menyelamatkan diri sendiri.

Siapa yang akan peduli. Semua orang mengalaminya. Bukan hanya sekarang. Tapi sudah jauh hari sebelumnya. Hanya beda cara alam merampasnya. Beda jaman, beda pula yang dihadapi masyarakat. Pada jaman sekarang mungkin bukan untuk mendapatkan makanan yang sulit. Namun mendapatkan pekerjaan. 

Pada zaman sekarang, dengan memiliki uang berarti bisa mendapatkan makanan. namun bila sangat terbatas kondisinya, makanan dari donatur seperti di masjid masjid dan yayasan yang mengkoordinir pembagian makan gratis cukup banyak.

Namun kondisi ketiadaan makanan sangat sering terjadi pada masa dahulu kala. Kala itu masyarakat harus menanam sendiri bahan makanannya. seperti berkebun dan bertani. Tidak jarang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat juga berburu dan meramu atau mencari umbi umbian dan buah pohon di hutan.


Meski demikian, tak jarang datang suatu musim dimana hama menghabiskan semua makanan. Hama tikus memakan tanaman padi disawah, bahkan saat masih hijau. Batang padi dimakan hewan pengerat dari umbuk pangkal akarnya.


Demikian juga dengan buah buahan. Kadang musim panas yang berkepanjangan membuat pohon pohon meranggas. Bunga dan putik enggan bertahan sehingga musim buah tak kunjung datang.
Ketiadaan buah dan daun hijau membuat binatang di hutan harus mencari makan hingga jauh mengikuti musim hujan.


Di sebuah desa di kaki Gunung Talang, Sumatera Barat yang terkenal dengan Sawah Soloknya, juga pernah mengalami hal serupa. Beras sebagai komoditi bahan pokok yang dikenal dengan nama  Bareh Solok itu hilang. Terkena paceklik. Beras yang sudah menasional itu tiada lagi dapat menghilangkan rasa lapar.

Sehingga banyak keluarga yang harus mencari beras dan makanan hingga ke negeri jauh. Dengan berjalan kaki, mendaki bukit menyeberangi sungai dan lembah mencari tempat padi yang bebas hama tikus dan bisa segera panen.

Terkisah sebuah cerita,  kata Ande, ketika memulai cerita. Ada seorang yatim dan ibunya berangkat mencari makanan dengan bekerja sebagai buruh tukang tampi. Tukang tampi merupakan pekerjaan buruh kasar untuk memilah padi yang bernas dengan yang hampa atau kosong berserta sampah dan sisa jerami yang tidak dibutuhkan.

Padi yang bersih kemudian dibawa pulang kerumah dan dijemur. Padi yang kering kemudian dibuang bagian kulitnya yang dinamakan sekam dengan memanfaatkan kincir air. Roda kincir yang berada di aliran sungai memutar kayu bulat yang memanjang. Pada bagian batang kayu disisipkan kayu yang berfungsi sebagai pengungkit untuk menaik dan menurunkan batang kayu yang menghujam kedalam lesung. 

Lesung terbuat dari batu gunung yang dipahat hingga kedalamam 10 hingga 15cm. Tiap kali kayu menghujam kedalam lesung yang disebut alu, memecahkan kulit padi hingga memisahkan butir beras dengan sekam. dan beras kembali ditampi agar terpisah menjadi eras yang besih dari serbuk kulit ari dan patahan halus yang disebut dedak. 

Untuk memisahkan bagian bagian ini masyarakat biasanya menggunakan niru. anyaman bambu yang dibuat melebar dan pada bagian pinggirnya dijepit rotan dan diikat tali anyaman agar tidak mudah copot. 

Kemudian niru diletakkan didepan bahu dan padi dijatuhkan kedalam tikar anyaman pandan. Saat angin berhembus, terbanglah bagian yang ringan berupa potongan debu dan bagian halus kulit padi berupa dedak. terpisah dengan butiran beras yang memutih seperti susu. Bila angin tidak kunjung berhembus, dari bibir merah ibu dan anak gadis itu bergumam nyanyian,'

"oi..alang..oi angiin.. oi lesus.. berhebuslah
terbanglah.. bertiuplah agar beras segera bersih..
bergegaslah..
jangan puting beliung agar kami tidak susah,"

Biasanya, angin sepoi kembali bergerak. Bila tidak niru diangkat sebatas pinggang. beras kemudian dilambung setingga mata. Beras yang bersih akan jatuh ke niru lebih awal dan kemudian niru ditarik ke samping. Kulit padi yang lebih ringan dari beras jatuh berserakan ketumpukan yang belum ditampi. demikian terus menerus hingga akhirnya beras bersih terkumpul dibawa ketempat beras didalam rumah.

 Tempat beras atau Kampie beras sebutannya. Bila padi banyak maka akan disimpan di depan rumah. Rumah joglo itu  tinggi dan disebut Rangkieng. Tuan tanah dan datuak yang memiliki sawah luas biasanya memiliki dua hingga empat rangkiang depan rumahnya. Biasanya rumahnya rumah adat Minang  disebut Rumah Gadang.

"Gimbang gimbuk tali kecapi. Kenyang perut senang lah hati," ibu dan si yatim segera berbenah menuju jalan pulang. Beras upah tukang tampi telah dikantongi dan dijunjuang di kepala. Anak datuak pemilik rumah melirik dan bercanda dengan si gadis nan elok rupawan. Namun sayang hati si gadis mengembang hingga ke bumbungan. Sang ibu yang telah menjadi kawan dalam kesusahan serasa tiada lagi seelok diri nya.

Senyum pemuda tampan telah membutakan hati. Menutup mata dan telinga. Hanya nyanyian kerinduan yang terus bergema. Sampai waktunya pulang kembali dari seberang menuju jalan kerumah sang ibu rasanya lebih daripada beban. 

Dalam hati, dia bertanya mengapa dirinya yang jelita harus terlahir dari ibu yang sengsara. Kenapa bukan dari keluarga kaya dan bisa sepersandingan dengan anak angku datuak rumah seberang.

Dalam lamunan senja teriakan sang ibu agar dara jelita memperhatikan jalan tiada lagi dihiraukan. Termasuk saaat menyebarang sungai di kaki Bukit Kajai. Bukit kedua dari Gunung Talang setelah Bukit Kili.

Mungkin inilah yang disebut lain ladang, lain ilalang. Lain bukit lain lembah. Ternyata saat jalan pulang itu si Dara kurang hati hati hingga terprosok kedalam genangan lumpur. Lumpur yang menyatu ke bagian sungai. Semakin Dara bergerak semakin lumpur bergayut danmenarik kakinya.

Sang ibu yang renta dan mata mulai kurang awas hanya bisa mendengar jerit rintihan. Amaak, sudah sampai sedada mak.. tolong mak. Amaak sudah sampai ke leher mak. Amaak.. tolong," jerit Dara jelita.

Sesal menyeyesakkan dada. Dara meminta maaf menagis pilu. sang ibu tiada bisa berbuat. Anak semata wayang yang digadang gadang kini ditelan bumi. Tanah lulue. tangis dan air mata buncah. sang ibu terduduk diseberang sungai tiada kuasa melangkahkan kaki hingga menjadi batu, batu menangis. menangisi anak terkasih. Menangisi keadaan dan penuh penyesalan. Kenapa hidup tiada berada. Duka begitu melekat melumuri hati membutakan mata dan harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun