Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengapa Kurva Covid-19 Indonesia Masih "Naik-naik ke Puncak Gunung"?

4 Oktober 2020   08:56 Diperbarui: 6 Oktober 2020   17:30 1672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga melintas di depan mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di Petamburan, Jakarta, Rabu (16/9/2020). | Sumber: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

"Pesan yang jelas" dan "tindakan cepat" menjadi dua poin yang dapat didiskusikan lebih lanjut. Pengukurannya sedikit abstrak. Apakah cepat dalam ukuran waktu? 

Jika tentang waktu, apakah dihitung sejak Desember 2019 atau Januari 2020 atau Maret 2020 ketika COVID-19 benar-benar mewabah dan WHO mendeklarasikannya sebagai pandemi global?

Apakah "pesan yang jelas" dilihat dari pidato kepala negara atau pengumuman di media massa dan poster-poster cetak maupun digital? Jika diukur berdasarkan waktu, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan tanggap darurat pada 15 Maret 2020.

Persoalannya mungkin soal komando nasional yang tidak dilakukan, gantinya menginstruksikan kepala-kepala daerah untuk mengambil kebijakan.

Hal ini juga bukan tanpa sebab. Kondisi Indonesia yang sangat luas, jumlah penduduk yang sangat bervariasi antar daerah hingga sistem pemerintahan desentralisasi menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan tersebut.

Tentang lockdown

Lalu, apakah "tindakan cepat" diukur dengan kebijakan lockdown (karantina kewilayahan)? Jika tentang lockdown, Presiden sejak awal telah menegaskan tidak akan menerapkannya dengan pertimbangan ekonomi terutama terhadap masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. 

70% perekonomian Indonesia ditopang oleh sektor informal yang akan lumpuh jika lockdown diberlakukan. Padahal negara tidak mampu mengganti pendapatan seluruh penduduk yang hilang selama lockdown tersebut.

Selandia Baru sendiri menganggarkan $ 3,2 miliar (Rp 32 triliun) untuk mensubsidi kehilangan pendapatan penduduknya yang hanya 5 juta orang. Kira-kira berapa yang dibutuhkan untuk 270 juta penduduk Indonesia?

Tanpa tanggung jawab pemerintah untuk mengganti sebagian besar penghasilan warga yang hilang, maka kebijakan lockdown adalah suatu kekejaman. Sebab masih banyak rakyat Indonesia yang keluar rumah untuk mencari makanannya hari itu juga.

Lockdown India berujung pada kekacauan karena pemerintah abai terhadap kondisi perkotaan dan ekonomi masyarakat. Arus komuter dan sektor informal menjadi faktor kontra terhadap kebijakan lockdown. Kemampuan dalam menjamin penampungan dan kebutuhan dasar warga menjadi penyebab utama kegagalan India (Arvind dan Govindarajan, 2020; "India," 2020).

Penulis berasumsi bahwa lockdown tidak termasuk dalam tujuh langkah tepat untuk menangani COVID-19 karena para ahli memahami bahwa lockdown tidak dapat diterapkan di semua tempat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun