kereta teranggukangguk pelan. orangorang tak bergerak. seperti menahan napas. diam dan begitu hening. satudua saling berpandangan. tersenyum miris dan menggeleng kecil seolah tak percaya.
lelaki sebelahku menyemburkan asap rokoknya. pelan.
"ini bencana nasional," katanya lirih tanpa mengalihkan pandangan.
"bukan. ini bukan bencana nasional," kataku.
ia menoleh. tampak matanya memerah dan berair.
"tak ada nasion di sini," tambahku. ia kembali menyetujuiku dengan mengangguk. kini tampak dam buatan yang memanjang. kereta masih waspada jalan perlahan karena terancam amblas tanahnya. orangorang masih banyak terdiam.
sejurus lelaki sebelah merogoh kantong celana. ponselnya tampak berkerlapkerlip. tersenyum ia sebelum memencet tombol dan mengucap, "iyaaa... hampir sampai. sudah sampai porong."
"naik darimana?" tanyanya padaku setelah menutup telepon.
"jember," jawabku singkat.
"kuliah di sana?" tampaknya ia cermat, tahu aku bukan orang 'timur'.
"ahhh, nggak. ketemu beberapa teman."
"pulang atau mau ke mana lagi?" lagilagi tertebak olehnya.
"ke surabaya."
"temanteman juga?"
"iya. mereka dan acara nanti malam," jawabku sembari tertawa. ia tertawa pula.
"acara resmi atau..."
"festival film. di cak durasim," jawabku menyambung.
"ohhhh... oke...oke.."
"ini anakanak saya," sambil menunjukkan satu foto di ponselnya. senyum yang mengembang menandakan ia bangga. lantas ia tunjukkan satu foto lagi.
"ini istri saya. mereka semua di surabaya. akhir pekan saya selalu pulang."
aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. tak tahu bagaimana harus meresponnya. aku mengerenyitkan dahi. ia seolah tahu pertanyaan yang tersimpan di otakku.
"bali. saya main musik di bali," jelasnya.
lelaki itu bercerita, jazz menjadi pilihan hidupnya. dua anak lelakinya juga bermusik. sedang satu anak perempuannya yang terlihat cantik di foto, sedang berkarier menjadi mc dan penyiar radio. istrinya seorang penari.
"tapi sudah pensiun! hahaha..." katanya dengan kocak. aku ikut tergelak. ponselnya bergetar lagi.
"niiihh... mantan penarinya telpoooon!" candanya padaku. lalu dengan mesra menyapa suara di ujung sana.
nyaris terlupa ia harus turun sebelum gubeng. ia tersenyum dan mengucapkan sampai jumpa sembari tergesa bangkit dari kursi. aku membalasnya.
mutiaratimur mulai bergerak menuju gubeng. aku membayar kopi dan merapikan bawaanku. lalu menunggu.
menunggu...
menunggu...
ahhh, apa yang kudapati siang ini?