Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Indonesia dan Bayang-bayang Fasisme

4 Januari 2018   18:45 Diperbarui: 4 Januari 2018   18:56 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: counterpunch.org

Ketidaksiapan berdemokrasi mulau menggigit kita. Masyarakat kita cenderung menghargai homogenitas dan keseragaman. Berapa kali Anda diberi ijin berbeda pendapat dengan orang tua? Atau guru? Bahkan kurikulum SMA dan perkuliahan kita tidak memberi ruang diskusi untuk membahas pemikiran-pemikiran non-ortodoks dalam masyarakat. Isu-isu seperti ateisme, komunisme, liberalisme, dan LGBT menjadi tabu sosial. 

Sementara itu anak muda cenderung diarahkan untuk homogen dan me-tabu-kan diskusi terbuka soal isu-isu kontroversial. Selama 20 tahun demokrasi Reformasi kita memberi kebebasan tanpa membangun infrastruktur sosial untuk pemanfaatan kebebasan secara rasional dan bertanggungjawab.

Kebebasan semacam ini menjadi mangsa yang muluk bagi neo-fasisme. Menurut Timo Duile, beberapa penanda politik fasis adalah adanya upaya membangun ketakutan melalui pembentukan musuh yang imajinerdan menguatkan identitas internal yang menjadi justifikasi peran militerisme dan pemerintahan otoriter.Terdengar familier? Belum? Mari kita uraikan.

Dewasa ini ada gerakan terkoordinasi yang secara sistematik membangun ketakutan dan menguatkan identitas internal. Isu PKI sebagai bahaya internal dan  ancaman Tiongkok sebagai bahaya eksternal menjadi isu hangat. Narkoba dianggap sebagai ancaman nasional. LGBT pun dianggap sebuah serangan. Bahkan Panglima TNI pernah mewacanakan internet sebagai ancaman keamanan. Narkoba. LGBT. PKI. Liberalisme. Komunisme. Rasanya dewasa ini Indonesia serba darurat. Pemberitaan semacam ini membangun ketakutan yang konstan dalam pikiran bangsa.

Bangsa yang takut akan rentan terhadap intoleransi. Bagaimana pun lebih mudah menyederhanakan masalah persaingan ekonomi internasional dan domestik menjadi ancaman 'asing' dan 'aseng', Lebih mudah memusuhi semua yang berbau Barat dan 'liberal' dari pada membahas terbuka mengenai kompleksnya isu kebebasan, HAM, dan LGBT. Dunia terasa lebih sederhana, hitam dan putih, kami dan kamu, kita dan mereka.

Hubungannya dengan infrastruktur sosial-politik? Masyarakat yang tidak terbiasa melakukan diskusi terbuka dan rasional lebih rentan terhadap pembangunan ketakutan ini. Sebagai anekdot, pemilih berpendidikan tinggi dan kelas menengah cenderung tidak terpengaruh primordialisme isu agama dalam Pilkada Jakarta 2017. Yang terpengaruh paling besar adalah fundamentalis agama, mereka yang merasa 'pribumi' dan pendidikan cenderung rendah. Mereka inilah demografi sasaran neo-fasis di Indonesia.

Demokrasi Indonesia harga mati. Akan tetapi kita harus berkaca dan mengkonfrontasi keburukan diri. Masyarakat kita banyak yang belum siap berdemokrasi. Ketakutan dogmatik yang tidak dibangun tanpa penjelasan masih berpengaruh. Primordialisme SARA masih berperan dalam pemikiran politik. Logika mistika masih mengikat nalar sebagian besar masyarakat.

Solusinya bukanlah menguatkan 'identitas bangsa', menutup diri dari perbedaan eksternal dengan membangun mitos kebhinekaan internal. Kita harus membuka diri. Berdiskusi mengenai komunisme dan liberalisme, agama dan ateisme, nasionalisme dan globalisme. Kita harus diajari berbeda tanpa membenci. Menerima perbedaan, debat rasional, menghargai hak dan hukum itulah infrastruktur yang harus dibangun bersamaan dengan pembangunan jalan, bandara, dan pelabuhan. Sayangnya, hingga kini kita masih jauh tertinggal dalam infrastruktur yang satu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun