Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Indonesia dan Bayang-bayang Fasisme

4 Januari 2018   18:45 Diperbarui: 4 Januari 2018   18:56 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: counterpunch.org

Tahun 2017 merupakan suatu tahun yang formatif. Ada banyak aspek kehidupan yang berbangsa yang baru terkuak setelah hampir 20 tahun Reformasi. Isu lama seperti intoleransi beragama yang kian merongrong. Isu baru seperti hak LGBT pun membayang. Tak ayal, komitmen bangsa terhadap demokrasi pun digoyang dengan isu khilafah dan segala kontroversinya.

Salah satu kenyataan yang terkuak dari kekacauan sosial-politik 2017 ini adalah dangkalnya komitmen bangsa terhadap demokrasi. Memang, bagi sebagian (besar) elemen bangsa demokrasi hanyalah sebuah jargon, kata manis yang diucapkan politisi dan aktivis dalam televisi. Hal ini tampak dari banyaknya opini masyarakat mendukung kebijakan-kebijakan non-demokratis.

Dukungan semacam ini tampak simetris pada kedua kubu politik. Kubu konservatif pendukung khilafah tak pernah malu menyatakan ke-anti-annya terhadap demokrasi. Di lain pihak, anti-khilafah mendukung UU Ormas yang mengekang kebebasan berorganisasi serta mengaburkan kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Pada topik lain, mainstream kedua kubu sepakat anti-HAM seperti dalam isu hak LGBT serta perjuangan kemerdekaan Papua.

Kenapa bisa begini? Bukankah bangsa ini pernah disanjung dunia akibat derasnya arus Reformasi dan demokratisasi?

Menurut saya, penyebabnya adalah adanya kecenderungan demokrasi karbitan. Demokrasi dipaksakan sebagai suatu cita-cita yang tidak dimengerti orang Indonesia sendiri. Jika dilihat sejarahnya, demokratisasi berawal dari demo anti-Orba 1998 yang berujung Reformasi. 

Tapi, apa alasan gerakan anti-Orba ketika itu? Apakah karena Orba represif? Bukankah bangsa tenang-tenang saja selama 32 tahun Orba, bahkan cenderung mendukung program-program represifnya atas nama 'ketertiban umum'? Walaupun benar ada hasrat demokratisasi pada kalangan kampus, libido ini tidak tersebar ke kalangan masyarakat awam yang tidak pernah merasakan nikmatnya pertisipasi pemerintahan.

Pada 1998 Indonesia tidak memiliki pemerintahan demokratis selama 39 tahun sejak berakhirnya Era Demokrasi Liberal dan dimulainya Demokrasi Terpimpin Soekarno. Era Orde Baru yang menggantikan Demokrasi Terpimpin tidak lebih baik, bahkan cenderung lebih anti-demokrasi. Efeknya, pemilih potensial pada 1998 tidak ada yang pernah merasakan demokrasi dengan pemilu bebas, debat terbuka, dan pemerintah akuntabel. 

Nyatanya, perlawanan terhadap Orba tak lebih dan tak bukan merupakan ekses kekacauan ekonomi pasca Krisis Ekonomi 1997. Seandainya ketika itu Soeharto sama mahirnya menyetir ekonomi seperti SBY pada 2007, bukan tak mungkin Orba masih berkuasa hingga kini.

Setelah Reformasi Indonesia mendadak memasuki era demokrasi. Suatu bangsa tanpa pengalaman demokrasi diberi hak memilih seluas-luasnya. Bahkan, pada 2004 rakyat dapat memilih langsung semua wakilnya di pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif.

Pertanyaannya, apa rakyat Indonesia siap? Bagaimana dengan institusi sosial-politik yang menjadi modal demokrasi? Pada 2004 hingga 2009 Indonesia terlihat semakin matang berdemokrasi. Ketidakmatangan politik mulai terkuak pasca Pemilu 2009. Ketika itu kita mengamati meningkatnya pola kampanye negatif, suatu pola komunikasi politik yang menekankan keburukan lawan dibandingkan mengembangkan pesan kebijakan yang koheren. 

Pada Pemilu 2014 Jokowi vs. Prabowo, kampanye negatif mencapai puncaknya. Apa yang Anda ingat dari kampanye Pilpres 2014? Mana yang lebih membekas di benak Anda: komitmen 1000 hektar sawah (janji kebijakan Prabowo) atau isu Jokowi komunis (atau Cina, anti-Islam, liberal, dll. Harus diakui, Jokowi lebih banyak menjadi korban kampanye negatif). Sejak 2014, tren kampanye negatif makin meningkat dalam politik Indonesia.

Ketidaksiapan berdemokrasi mulau menggigit kita. Masyarakat kita cenderung menghargai homogenitas dan keseragaman. Berapa kali Anda diberi ijin berbeda pendapat dengan orang tua? Atau guru? Bahkan kurikulum SMA dan perkuliahan kita tidak memberi ruang diskusi untuk membahas pemikiran-pemikiran non-ortodoks dalam masyarakat. Isu-isu seperti ateisme, komunisme, liberalisme, dan LGBT menjadi tabu sosial. 

Sementara itu anak muda cenderung diarahkan untuk homogen dan me-tabu-kan diskusi terbuka soal isu-isu kontroversial. Selama 20 tahun demokrasi Reformasi kita memberi kebebasan tanpa membangun infrastruktur sosial untuk pemanfaatan kebebasan secara rasional dan bertanggungjawab.

Kebebasan semacam ini menjadi mangsa yang muluk bagi neo-fasisme. Menurut Timo Duile, beberapa penanda politik fasis adalah adanya upaya membangun ketakutan melalui pembentukan musuh yang imajinerdan menguatkan identitas internal yang menjadi justifikasi peran militerisme dan pemerintahan otoriter.Terdengar familier? Belum? Mari kita uraikan.

Dewasa ini ada gerakan terkoordinasi yang secara sistematik membangun ketakutan dan menguatkan identitas internal. Isu PKI sebagai bahaya internal dan  ancaman Tiongkok sebagai bahaya eksternal menjadi isu hangat. Narkoba dianggap sebagai ancaman nasional. LGBT pun dianggap sebuah serangan. Bahkan Panglima TNI pernah mewacanakan internet sebagai ancaman keamanan. Narkoba. LGBT. PKI. Liberalisme. Komunisme. Rasanya dewasa ini Indonesia serba darurat. Pemberitaan semacam ini membangun ketakutan yang konstan dalam pikiran bangsa.

Bangsa yang takut akan rentan terhadap intoleransi. Bagaimana pun lebih mudah menyederhanakan masalah persaingan ekonomi internasional dan domestik menjadi ancaman 'asing' dan 'aseng', Lebih mudah memusuhi semua yang berbau Barat dan 'liberal' dari pada membahas terbuka mengenai kompleksnya isu kebebasan, HAM, dan LGBT. Dunia terasa lebih sederhana, hitam dan putih, kami dan kamu, kita dan mereka.

Hubungannya dengan infrastruktur sosial-politik? Masyarakat yang tidak terbiasa melakukan diskusi terbuka dan rasional lebih rentan terhadap pembangunan ketakutan ini. Sebagai anekdot, pemilih berpendidikan tinggi dan kelas menengah cenderung tidak terpengaruh primordialisme isu agama dalam Pilkada Jakarta 2017. Yang terpengaruh paling besar adalah fundamentalis agama, mereka yang merasa 'pribumi' dan pendidikan cenderung rendah. Mereka inilah demografi sasaran neo-fasis di Indonesia.

Demokrasi Indonesia harga mati. Akan tetapi kita harus berkaca dan mengkonfrontasi keburukan diri. Masyarakat kita banyak yang belum siap berdemokrasi. Ketakutan dogmatik yang tidak dibangun tanpa penjelasan masih berpengaruh. Primordialisme SARA masih berperan dalam pemikiran politik. Logika mistika masih mengikat nalar sebagian besar masyarakat.

Solusinya bukanlah menguatkan 'identitas bangsa', menutup diri dari perbedaan eksternal dengan membangun mitos kebhinekaan internal. Kita harus membuka diri. Berdiskusi mengenai komunisme dan liberalisme, agama dan ateisme, nasionalisme dan globalisme. Kita harus diajari berbeda tanpa membenci. Menerima perbedaan, debat rasional, menghargai hak dan hukum itulah infrastruktur yang harus dibangun bersamaan dengan pembangunan jalan, bandara, dan pelabuhan. Sayangnya, hingga kini kita masih jauh tertinggal dalam infrastruktur yang satu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun