Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (World Mental Health Day). Tahun ini sebagaiman dilansir pada situs WHO, tema yang diusung terasa begitu dekat dengan kehidupan kita: "Mental health in humanitarian emergencies." Tema ini tidak sekadar slogan, melainkan seruan kemanusiaan agar masyarakat berhenti menutup mata terhadap kenyataan bahwa kesehatan mental merupakan bagian tak terpisahkan dari kesejahteraan hidup manusia.
Di tengah dunia yang semakin cepat, penuh tekanan, dan sarat kompetisi, banyak dari kita tanpa sadar membawa beban psikis di balik kesibukan harian. Kita tersenyum di ruang kerja, tertawa di media sosial, namun menyimpan kegelisahan yang dalam di dalam hati. Ironisnya, ketika tubuh sakit kita tahu ke mana harus pergi, tetapi ketika jiwa terluka, banyak di antara kita justru memilih diam---takut dihakimi, takut dianggap lemah.
Kesehatan Mental: Masalah Nyata, Bukan Sekadar Perasaan
Banyak orang masih menganggap gangguan kejiwaan sebagai hal memalukan atau aib keluarga. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menegaskan bahwa kesehatan mental merupakan bagian integral dari kesehatan secara menyeluruh---yakni kondisi sehat fisik, mental, dan sosial, bukan sekadar bebas dari penyakit (WHO, World Mental Health Report, 2023).
Faktanya, lebih dari satu miliar orang di dunia hidup dengan kondisi kesehatan mental, dan hampir 800 ribu jiwa meninggal setiap tahun akibat bunuh diri (WHO, 2024). Angka ini menjadikan bunuh diri sebagai penyebab kematian ketiga terbesar di kalangan usia muda 15--29 tahun.
Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) menunjukkan 6,1 persen penduduk mengalami gangguan mental emosional, sementara studi lanjutan (Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health, 2023) memperkirakan prevalensi gangguan mental meningkat hingga 20 persen dari populasi pascapandemi. Ironisnya, diperkirakan sekitar 9 persen penderita yang mendapatkan layanan psikologis atau psikiatris secara memadai (Suryani et al., 2023).
Angka-angka ini menegaskan bahwa isu kesehatan mental bukanlah urusan pribadi, melainkan tantangan sosial dan kebijakan publik.
Pandemi dan Luka Kolektif yang Tak Terlihat
Pandemi COVID-19 telah meninggalkan luka panjang bagi banyak orang. Bukan hanya karena kehilangan pekerjaan atau orang terkasih, tetapi juga karena rasa takut dan keterasingan yang memicu krisis psikologis global. WHO menyebut fenomena ini sebagai "silent pandemic"---pandemi dalam diam yang merusak ketahanan jiwa masyarakat.
Bagi sebagian orang, masa pandemi menjadi titik balik kesadaran. Komunitas mulai membuka ruang berbagi, lembaga pendidikan menghadirkan counseling room, dan kampanye publik tentang kesehatan jiwa bermunculan. Namun, ketika keadaan berangsur pulih, kesadaran itu kerap memudar.
Padahal, pemulihan sejati bukan sekadar sehat fisik, tetapi juga sehat batin. Kita perlu memulihkan luka kolektif dengan kepedulian bersama---tanpa stigma, tanpa penghakiman.
Stigma: Luka yang Lebih Dalam dari Penyakitnya
Stigma terhadap gangguan mental masih menjadi tembok besar di masyarakat. Banyak orang enggan mencari bantuan karena takut dicap "gila", "kurang iman", atau "tidak bersyukur". Menurut data Kementerian Kesehatan hingga 2022, masih banyak kasus pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa berat di beberapa daerah karena minimnya pemahaman dan layanan medis.
Stigma ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga mematikan. Ia membuat banyak orang yang seharusnya bisa pulih justru semakin tenggelam dalam keterasingan. Mereka tidak butuh belas kasihan; yang mereka perlukan adalah dukungan, penerimaan, dan kesempatan untuk kembali hidup bermakna.
Peran Keluarga, Sekolah, dan Dunia Kerja
Kesehatan mental tidak bisa dibangun sendirian. Ia tumbuh dalam lingkungan yang aman, hangat, dan penuh penerimaan.
Keluarga adalah pondasi pertama. Di sinilah seseorang belajar mengenali emosi, mengelola stres, dan memahami arti kasih sayang tanpa syarat. Namun, sering kali keluarga justru menjadi sumber tekanan---melalui ekspektasi yang berlebihan, perbandingan sosial, atau komunikasi yang tertutup.
Di sekolah, penting untuk menghadirkan school counselor dan program well-being education. Banyak kasus perundungan (bullying) yang berujung pada depresi berat dan tindakan ekstrem di kalangan remaja. Menurut salah satu survei UNICEF di Indonesia, hampir setengah dari remaja melaporkan pengalaman cyberbullying .
Sementara di dunia kerja, budaya produktivitas tanpa jeda melahirkan generasi pekerja yang burnout. Survei global Indeed Work Wellbeing 2024 menunjukkan 52% pekerja melaporkan stres kronis akibat tekanan pekerjaan. Karena itu, kebijakan seperti mental health day atau employee assistance program bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan dasar organisasi yang ingin tumbuh berkelanjutan.
Tantangan Baru di Era Digital
Kemajuan teknologi memang membawa kemudahan, tetapi juga tantangan baru bagi kesehatan mental.
Fenomena doom scrolling, cyberbullying, dan comparison culture membuat banyak orang---khususnya generasi muda---terperangkap dalam lingkaran tekanan sosial digital.
Menurut laporan We Are Social 2025, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam per hari di dunia maya. Paparan konstan terhadap berita negatif, citra kesempurnaan palsu, dan komentar jahat menciptakan rasa cemas, rendah diri, dan kesepian sosial.
Literasi digital seharusnya tidak hanya soal keamanan data, tetapi juga kesehatan mental digital: bagaimana bersikap sehat dalam dunia maya, mengelola waktu daring, dan tidak terjebak dalam perbandingan semu.
Pulih Bersama: Gerakan yang Harus Nyata
Pulih bersama bukan slogan kosong. Ia adalah panggilan untuk bergerak dari simpati menuju empati, dari penghakiman menuju penerimaan.
Pemerintah perlu memperkuat layanan psikologis di puskesmas, memperluas jangkauan psikiater di daerah, dan menambah alokasi anggaran untuk kesehatan mentalÂ
Sekolah dan universitas wajib menyediakan ruang aman bagi siswa untuk bercerita tanpa takut dihakimi.
Media dan konten kreator perlu berhenti menstigmatisasi isu gangguan jiwa dan mulai mengedukasi publik secara empatik.
Kita sebagai individu bisa mulai dari hal sederhana: mendengarkan, menenangkan, dan hadir bagi orang lain.
Terkadang, seseorang tidak butuh solusi---ia hanya butuh didengar.
Jiwa Sehat, Bangsa Kuat
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025 adalah pengingat bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa. Kita tidak dapat membangun bangsa yang produktif dan inklusif tanpa masyarakat yang bahagia dan damai secara batin. Pulih bersama berarti menyembuhkan luka kolektif sebagai satu kesatuan. Ia menuntut kita untuk menumbuhkan empati di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan.
Mari belajar untuk lebih mendengar daripada menilai, lebih memahami daripada menghakimi, dan lebih hadir daripada sekadar memberi nasihat. Karena dalam setiap langkah kecil kepedulian, tersimpan harapan besar untuk masa depan bangsa yang lebih sehat, manusiawi, dan berempati.
Mari pulih bersama---tanpa stigma, tanpa jarak, tanpa takut menjadi diri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI