Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pulih Bersama: Saatnya Peduli Kesehatan Mental Tanpa Stigma

10 Oktober 2025   09:05 Diperbarui: 10 Oktober 2025   09:03 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulih Bersama: Saatnya Peduli Kesehatan Mental Tanpa Stigma (Foto:freepik.com)

Padahal, pemulihan sejati bukan sekadar sehat fisik, tetapi juga sehat batin. Kita perlu memulihkan luka kolektif dengan kepedulian bersama---tanpa stigma, tanpa penghakiman.

Stigma: Luka yang Lebih Dalam dari Penyakitnya

Stigma terhadap gangguan mental masih menjadi tembok besar di masyarakat. Banyak orang enggan mencari bantuan karena takut dicap "gila", "kurang iman", atau "tidak bersyukur". Menurut data Kementerian Kesehatan hingga 2022, masih banyak kasus pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa berat di beberapa daerah karena minimnya pemahaman dan layanan medis.

Stigma ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga mematikan. Ia membuat banyak orang yang seharusnya bisa pulih justru semakin tenggelam dalam keterasingan. Mereka tidak butuh belas kasihan; yang mereka perlukan adalah dukungan, penerimaan, dan kesempatan untuk kembali hidup bermakna.

Peran Keluarga, Sekolah, dan Dunia Kerja

Kesehatan mental tidak bisa dibangun sendirian. Ia tumbuh dalam lingkungan yang aman, hangat, dan penuh penerimaan.
Keluarga adalah pondasi pertama. Di sinilah seseorang belajar mengenali emosi, mengelola stres, dan memahami arti kasih sayang tanpa syarat. Namun, sering kali keluarga justru menjadi sumber tekanan---melalui ekspektasi yang berlebihan, perbandingan sosial, atau komunikasi yang tertutup.

Di sekolah, penting untuk menghadirkan school counselor dan program well-being education. Banyak kasus perundungan (bullying) yang berujung pada depresi berat dan tindakan ekstrem di kalangan remaja. Menurut salah satu survei UNICEF di Indonesia, hampir setengah dari remaja melaporkan pengalaman cyberbullying .

Sementara di dunia kerja, budaya produktivitas tanpa jeda melahirkan generasi pekerja yang burnout. Survei global Indeed Work Wellbeing 2024 menunjukkan 52% pekerja melaporkan stres kronis akibat tekanan pekerjaan. Karena itu, kebijakan seperti mental health day atau employee assistance program bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan dasar organisasi yang ingin tumbuh berkelanjutan.

Tantangan Baru di Era Digital

Kemajuan teknologi memang membawa kemudahan, tetapi juga tantangan baru bagi kesehatan mental.
Fenomena doom scrolling, cyberbullying, dan comparison culture membuat banyak orang---khususnya generasi muda---terperangkap dalam lingkaran tekanan sosial digital.

Menurut laporan We Are Social 2025, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam per hari di dunia maya. Paparan konstan terhadap berita negatif, citra kesempurnaan palsu, dan komentar jahat menciptakan rasa cemas, rendah diri, dan kesepian sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun