Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suzzanna: Ratu Ilmu Hitam yang Bangkit dari Layar, Ikon Horor Indonesia Mendunia

9 Oktober 2025   08:30 Diperbarui: 9 Oktober 2025   08:35 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Suzanna: The Queen of Black Magic (Foto: Dok.Ist via detik.com)

Nama Suzzanna Martha Frederika van Osch bukan sekadar nama di dunia hiburan; ia adalah ikon yang mewakili bab penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Sejak 1970-an, perempuan berdarah campuran Belanda-Jawa ini menjelma menjadi figur yang menyatukan keindahan dan kengerian dalam satu tubuh seni. Ia bukan hanya aktris, tetapi simbol ketakutan kolektif bangsa.

Kini, setelah lebih dari 15 tahun kepergiannya, Suzzanna kembali “hidup” melalui dokumenter berjudul Suzzanna: The Queen of Black Magic (2024) karya sutradara David Gregory dan Co produser Ekky Imanjaya. Film ini bukan sekadar biografi, melainkan riset budaya tentang bagaimana horor lokal menjadi cermin identitas nasional.

Melalui dokumenter ini, publik seolah diajak menelusuri kembali aroma dupa, kabut kuburan, dan keheningan malam yang dulu mewarnai layar perak bioskop-bioskop tanah air.

Jejak Awal Sang Aktris

Suzzanna lahir di Bogor, 13 Oktober 1942. Ia memulai karier akting di usia muda lewat film Asrama Dara (1958) garapan Usmar Ismail, pelopor perfilman nasional. Bakatnya langsung mencuri perhatian hingga meraih Best Child Actress pada Asian Film Festival di Tokyo tahun 1960 — sebuah prestasi yang mengukuhkan langkah awalnya di dunia sinema.

Namun, kejayaan sejatinya hadir lewat genre yang tak banyak disentuh aktris lain: horor mistis. Seiring meningkatnya popularitas film supranatural di Indonesia pada era 1970-an hingga 1980-an, nama Suzzanna melesat menjadi ikon utama.

Ketika Horor Menjadi Bahasa Budaya

Film-film seperti Beranak dalam Kubur (1972), Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), dan Malam Satu Suro (1988) menegaskan dominasinya. Menurut catatan Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta, Suzzanna membintangi sekitar 42 film klasik lintas genre, dengan sebagian besar berakar pada mitologi lokal dan spiritualitas rakyat.

Peran-perannya bukan hanya menghadirkan ketakutan, melainkan juga memancarkan makna sosial. Ia sering memerankan perempuan yang disakiti, kemudian bangkit sebagai roh penuntut keadilan. Dalam konteks sosial, karakter semacam itu menjadi metafora bagi perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan — pesan yang relevan di tengah kuatnya norma patriarki masa Orde Baru.

Film horor di tangan Suzzanna bukan sekadar tontonan mistis, melainkan seni perlawanan yang terselubung.

Di Balik Kamera: Antara Profesionalisme dan Mitos

Ketenaran Suzzanna memunculkan kisah-kisah mistik yang melegenda. Banyak orang percaya bahwa ia menjalani ritual khusus sebelum syuting, atau menjaga aura lewat bunga melati dan air putih. Namun sebagaimana dicatat dalam laporan Tempo.co (2018), cerita-cerita tersebut sebaiknya dipahami sebagai bagian dari mitos publik yang memperkuat karisma sang aktris, bukan fakta empiris.

Yang pasti, Suzzanna dikenal sangat profesional dan perfeksionis di lokasi syuting. Ia bisa mengulang adegan berkali-kali untuk mendapatkan ekspresi paling tepat. Rekan-rekan sejawatnya mengenangnya sebagai pribadi lembut dan religius, jauh dari kesan menyeramkan yang ia tampilkan di layar.

Kisah Dokumenter: Menghidupkan Kembali Sang Ratu

Setelah wafat pada 15 Oktober 2008 di Magelang akibat komplikasi diabetes, nama Suzzanna sempat redup. Namun proyek dokumenter Suzzanna: The Queen of Black Magic mengembalikan gaungnya ke panggung internasional.

Program Direction Award - Suzanna: The Queen of Black Magic (Indonesia) -Foto:https://tvrijakartanews.com
Program Direction Award - Suzanna: The Queen of Black Magic (Indonesia) -Foto:https://tvrijakartanews.com

Film ini memadukan cuplikan karya klasiknya, arsip wawancara, serta penelusuran jejak di Indonesia dan Belanda. Menurut laman resmi ffd.or.id, tantangan terbesar tim produksi adalah mengumpulkan arsip yang tersebar dan rusak karena usia.

Dokumenter ini telah tayang di berbagai ajang dunia: Sitges Film Festival (Spanyol), Phantasmagoria Horror Film Festival (Inggris), dan Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta 2024. Laporan KBA.one juga menyebut film ini meraih penghargaan Best Documentary Feature Film di Hallucinea Film Festival, Paris, meski keterangan resminya masih menunggu konfirmasi dari pihak festival.

Karya ini menjadi bukti bahwa kisah hidup Suzzanna memiliki daya tarik lintas budaya: sebuah horor yang tak hanya menakutkan, tetapi juga memikat.

Suzzanna dan Politik Budaya Orde Baru

Era 1970–1980-an adalah masa di mana sensor dan moralitas publik sangat ketat. Namun, film horor justru menjadi ruang bebas yang memungkinkan sineas menyampaikan kritik sosial secara simbolik.

Karakter-karakter Suzzanna, seperti roh perempuan yang mencari keadilan, menjadi cermin bagi masyarakat kecil yang tertindas. Dalam setiap jeritan dan tatapan matanya, terselip pesan: bahwa kezaliman selalu berbalas, dan kebenaran akan menemukan jalannya.

Sebagaimana diulas Tempo.co (2018), horor di era itu adalah ekspresi budaya rakyat sekaligus “katarsis sosial” — cara bangsa melawan ketakutan melalui layar. Di tangan Suzzanna, film mistis berubah menjadi puisi perlawanan dan spiritualitas.

Fakta Suzzanna (Sidebar)

  • Nama lengkap: Suzzanna Martha Frederika van Osch

  • Lahir: Bogor, 13 Oktober 1942

  • Meninggal: Magelang, 15 Oktober 2008

  • Film pertama: Asrama Dara (1958)

  • Julukan: “Ratu Film Horor Indonesia”

  • Jumlah film: ±42 judul (sumber: FFD 2024)

  • Film terkenal: Sundel Bolong, Nyi Blorong, Malam Satu Suro

  • Prestasi awal: Best Child Actress, Asian Film Festival Tokyo 1960

Warisan yang Tak Pernah Padam

Generasi kini mengenal Suzzanna melalui penayangan ulang atau remake seperti Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) yang diperankan Luna Maya. Namun keaslian karisma Suzzanna tetap sulit ditandingi.

Ia membangun horor bukan dengan efek komputer, melainkan melalui gestur tubuh, intonasi suara, dan sorotan mata. Dalam dunia perfilman modern yang dipenuhi teknologi CGI, gaya Suzzanna terasa otentik dan berjiwa.

Lebih dari itu, Suzzanna meninggalkan warisan penting bagi perfilman nasional: bahwa horor lokal, jika digarap dengan ruh budaya, bisa melampaui batas waktu dan bahasa.

Refleksi Akhir: Takut, Tapi Tak Terlupakan

Kisah hidup Suzzanna menunjukkan bahwa sinema dapat menjadi ruang untuk mengisahkan luka dan harapan bangsa. Ia mengajarkan bahwa di balik rasa takut, selalu ada pelajaran tentang kemanusiaan dan keadilan.

Dokumenter The Queen of Black Magic memperlihatkan bahwa warisan budaya tidak selalu berbentuk monumen, tetapi bisa hadir dalam figur seorang aktris yang menghidupkan cerita rakyat dengan nyawa dan keyakinan.

Kini, setiap kali layar menampilkan kabut putih dan sosok berselendang yang melayang perlahan, penonton tahu: Suzzanna belum pergi. Ia hanya berpindah tempat — dari layar ke legenda.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun