Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Panen Air Hujan: Solusi Hijau Mengatasi Krisis Air Bersih di Tengah Ancaman Iklim

16 Agustus 2025   07:30 Diperbarui: 15 Agustus 2025   16:16 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Panen air hujan, solusi murah dan ramah lingkungan untuk atasi krisis air bersih, selamatkan cadangan air tanah, dan kurangi risiko banjir. (Foto: freepik.com)

Krisis air bersih bukan lagi sekadar isu musiman yang datang dan pergi mengikuti pergantian cuaca. Kini, ia telah menjelma menjadi tantangan struktural yang menyentuh sendi-sendi kehidupan. Di berbagai daerah Indonesia, dari Nusa Tenggara yang kering hingga sebagian wilayah Jawa yang dulunya dikenal subur, keluhan tentang sulitnya mendapatkan air bersih kian sering terdengar. Sumur-sumur dangkal mulai tak mengeluarkan air, sungai mengering, dan jaringan PDAM tak selalu sanggup memenuhi kebutuhan harian warga.

Fenomena ini tak berdiri sendiri. Ia adalah potret dari interaksi kompleks antara perubahan iklim global, degradasi lingkungan, dan pengelolaan sumber daya air yang belum optimal. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa pola curah hujan di Indonesia makin sulit diprediksi. Musim kemarau bisa berlangsung lebih panjang dari biasanya akibat El Nio, sementara di musim penghujan, intensitas hujan bisa sangat tinggi dalam waktu singkat, memicu banjir dan tanah longsor.

Ironisnya, di tengah melimpahnya curah hujan tahunan yang rata-rata mencapai 2.500--3.000 milimeter, banyak wilayah tetap mengalami kekeringan saat kemarau tiba. Penyebabnya sederhana: sebagian besar air hujan itu tidak kita simpan. Ia dibiarkan mengalir deras ke selokan, sungai, lalu berakhir di laut. Di perkotaan, aliran ini bahkan kerap menjadi masalah karena memperparah banjir.

Mewarisi Kearifan, Menggabungkannya dengan Teknologi

Di masa lalu, masyarakat Nusantara punya tradisi menampung air hujan. Di pedesaan Jawa, tempayan besar atau gentong tanah liat biasa diletakkan di halaman untuk menampung air dari atap rumah. Di Nusa Tenggara, bak penampung dibangun dari batu karang dan semen seadanya untuk bertahan melewati musim kering. Bahkan di sebagian wilayah Sumatera, sistem serupa digunakan untuk persiapan musim kemarau panjang.

Namun, seiring berkembangnya jaringan PDAM dan teknologi sumur bor, kebiasaan ini perlahan ditinggalkan. Air bersih dianggap akan selalu tersedia dari keran. Padahal, kenyataan kini membuktikan bahwa pasokan itu rapuh.

Memanen air hujan di era sekarang tidak harus kembali ke cara lama. Kita bisa memadukannya dengan teknologi modern: tangki penyimpanan dari bahan food grade yang awet, sistem filtrasi berbasis karbon aktif dan membran, bahkan integrasi dengan pompa hemat energi. Dengan pengolahan yang tepat, air hujan tidak hanya layak untuk mencuci atau menyiram tanaman, tetapi juga aman diminum.

Manfaat yang Melampaui Sekadar Ketersediaan Air

Panen air hujan membawa setidaknya tiga manfaat utama. Pertama, ketahanan air. Rumah tangga yang memiliki sistem penampungan akan lebih siap menghadapi kemarau panjang tanpa harus membeli air tangki yang mahal. Di daerah terpencil, ini berarti keberlangsungan hidup sehari-hari.

Kedua, pengurangan risiko banjir. Setiap liter air yang ditampung adalah liter yang tidak mengalir membebani drainase kota. Jika ribuan rumah melakukannya, dampaknya signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun