Krisis air bersih bukan lagi sekadar isu musiman yang datang dan pergi mengikuti pergantian cuaca. Kini, ia telah menjelma menjadi tantangan struktural yang menyentuh sendi-sendi kehidupan. Di berbagai daerah Indonesia, dari Nusa Tenggara yang kering hingga sebagian wilayah Jawa yang dulunya dikenal subur, keluhan tentang sulitnya mendapatkan air bersih kian sering terdengar. Sumur-sumur dangkal mulai tak mengeluarkan air, sungai mengering, dan jaringan PDAM tak selalu sanggup memenuhi kebutuhan harian warga.
Fenomena ini tak berdiri sendiri. Ia adalah potret dari interaksi kompleks antara perubahan iklim global, degradasi lingkungan, dan pengelolaan sumber daya air yang belum optimal. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa pola curah hujan di Indonesia makin sulit diprediksi. Musim kemarau bisa berlangsung lebih panjang dari biasanya akibat El Nio, sementara di musim penghujan, intensitas hujan bisa sangat tinggi dalam waktu singkat, memicu banjir dan tanah longsor.
Ironisnya, di tengah melimpahnya curah hujan tahunan yang rata-rata mencapai 2.500--3.000 milimeter, banyak wilayah tetap mengalami kekeringan saat kemarau tiba. Penyebabnya sederhana: sebagian besar air hujan itu tidak kita simpan. Ia dibiarkan mengalir deras ke selokan, sungai, lalu berakhir di laut. Di perkotaan, aliran ini bahkan kerap menjadi masalah karena memperparah banjir.
Mewarisi Kearifan, Menggabungkannya dengan Teknologi
Di masa lalu, masyarakat Nusantara punya tradisi menampung air hujan. Di pedesaan Jawa, tempayan besar atau gentong tanah liat biasa diletakkan di halaman untuk menampung air dari atap rumah. Di Nusa Tenggara, bak penampung dibangun dari batu karang dan semen seadanya untuk bertahan melewati musim kering. Bahkan di sebagian wilayah Sumatera, sistem serupa digunakan untuk persiapan musim kemarau panjang.
Namun, seiring berkembangnya jaringan PDAM dan teknologi sumur bor, kebiasaan ini perlahan ditinggalkan. Air bersih dianggap akan selalu tersedia dari keran. Padahal, kenyataan kini membuktikan bahwa pasokan itu rapuh.
Memanen air hujan di era sekarang tidak harus kembali ke cara lama. Kita bisa memadukannya dengan teknologi modern: tangki penyimpanan dari bahan food grade yang awet, sistem filtrasi berbasis karbon aktif dan membran, bahkan integrasi dengan pompa hemat energi. Dengan pengolahan yang tepat, air hujan tidak hanya layak untuk mencuci atau menyiram tanaman, tetapi juga aman diminum.
Manfaat yang Melampaui Sekadar Ketersediaan Air
Panen air hujan membawa setidaknya tiga manfaat utama. Pertama, ketahanan air. Rumah tangga yang memiliki sistem penampungan akan lebih siap menghadapi kemarau panjang tanpa harus membeli air tangki yang mahal. Di daerah terpencil, ini berarti keberlangsungan hidup sehari-hari.
Kedua, pengurangan risiko banjir. Setiap liter air yang ditampung adalah liter yang tidak mengalir membebani drainase kota. Jika ribuan rumah melakukannya, dampaknya signifikan.