Ketiga, pelestarian sumber daya air tanah. Dengan memanfaatkan air hujan, ketergantungan pada sumur bor dapat dikurangi. Ini membantu mencegah penurunan muka tanah (land subsidence) yang telah menjadi masalah serius di kota-kota seperti Jakarta dan Semarang.
Secara ekonomis, rumah tangga bisa menghemat biaya air hingga 30 persen per bulan. Bagi sektor pertanian, terutama di lahan tadah hujan, teknologi penampungan bisa menjadi pembeda antara panen yang berhasil dan gagal total.
Belajar dari Praktik Internasional
Singapura menjadi contoh paling dekat. Negara ini tidak punya sumber air alami memadai, tetapi mereka mampu mengolah setiap tetes hujan menjadi bagian dari sistem air nasional. Infrastruktur penampungan dibangun terintegrasi dengan tata kota, dari atap gedung pencakar langit hingga taman kota.
Di India, terutama di negara bagian Rajasthan yang kering, sistem panen air hujan telah menyelamatkan jutaan jiwa dari krisis air. Pemerintah daerah memberikan insentif dan bantuan teknis untuk setiap rumah yang memasang sistem ini.
Indonesia, dengan potensi hujan tropis yang jauh lebih tinggi, seharusnya mampu melampaui capaian tersebut---jika ada kemauan politik dan kesadaran publik yang cukup.
Tantangan di Lapangan
Namun, perjalanan menuju gerakan nasional panen air hujan tidak tanpa hambatan. Pertama, minimnya regulasi. Belum ada aturan yang mewajibkan bangunan baru memiliki sistem penampungan air hujan.
Kedua, stigma kualitas air hujan. Masih banyak yang menganggapnya tidak layak konsumsi, meski teknologi filtrasi sederhana sudah mampu menjadikannya aman.
Ketiga, investasi awal. Meski biaya jangka panjangnya lebih murah, harga tangki berkualitas dan sistem filtrasi sering kali menjadi penghalang bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Langkah Strategis yang Bisa Ditempuh