Berapa ongkos pulang-pergi kerjamu setiap hari?
Pertanyaan itu sering kali menjadi pembuka obrolan di ruang kantor, di warung kopi, bahkan di media sosial. Bagi sebagian orang, jawabannya adalah angka yang cukup besar: ada yang menghabiskan belasan ribu rupiah per hari, bahkan hingga ratusan ribu dalam seminggu. Apalagi jika jarak rumah dan kantor berjauhan, ditambah macet, bensin mahal, dan ongkos transportasi umum yang kian naik.
Namun, bagi saya, jawabannya cukup singkat: nol rupiah.
Bukan karena saya bekerja dari rumah atau menggunakan sepeda motor dinas atau mobil dinas dari kantor, melainkan karena saya tinggal di rumah dinas yang letaknya tepat disamping kantor. Setiap pagi, saya cukup berjalan kaki beberapa langkah, menyeberang halaman, dan sampailah di ruang kerja.
Keuntungan yang Nyata: Hemat Uang dan Waktu
Kantor saya berada di KPPN Watampone, Kabupaten Bone. Rumah dinas saya berada disamping kantor di Jalan Agus Salim Nomor 7, masih dalam kompleks yang sama. Tidak ada ongkos transportasi, tidak ada antrian SPBU, tidak ada drama macet di jalan.
Jika dihitung, penghematan ini cukup signifikan. Misalnya, jika rata-rata orang mengeluarkan Rp20.000 per hari untuk transportasi, maka dalam sebulan (22 hari kerja) mereka menghabiskan Rp440.000. Dalam setahun, jumlahnya bisa tembus Rp5 juta. Angka sebesar itu, jika dialihkan untuk kebutuhan lain, tentu sangat bermanfaat.
Bagi saya, penghematan ini punya makna lebih. Saya bisa mengalokasikan biaya transportasi yang "tidak jadi keluar" untuk pulang ke rumah di Makassar. Jarak Kota Watampone--Kota Makassar memang tidak dekat, namun biaya perjalanan pulang-pergi beberapa kali dalam sebulan masih lebih ringan dibanding ongkos harian yang harus dibayar oleh mereka yang tinggal jauh dari kantor.
Ketenangan yang Tak Tergantikan
Tinggal di rumah dinas juga memberi ketenangan batin. Tidak ada kecemasan telat akibat hujan deras atau motor mogok di tengah jalan. Saya bisa memulai hari dengan santai: menyeruput kopi pagi, membaca berita, lalu berangkat kerja hanya dalam hitungan menit.
Ketenangan ini berdampak langsung pada produktivitas. Energi yang biasanya habis di jalan, kini bisa digunakan untuk fokus bekerja. Bahkan, di luar jam kerja, saya punya lebih banyak waktu untuk beristirahat atau mengurus hal pribadi.
Konsekuensi dan Tanggung Jawab Moral
Meski terdengar ideal, tinggal di rumah dinas juga membawa tanggung jawab tersendiri. Fasilitas ini diberikan negara untuk menunjang kinerja, bukan sekadar untuk kenyamanan pribadi. Artinya, saya harus memastikan keberadaan saya di dekat kantor benar-benar memberi nilai tambah.
Kedekatan lokasi memudahkan saya merespons panggilan mendadak, lembur jika dibutuhkan, atau membantu rekan kerja yang membutuhkan bantuan di luar jam kerja normal. Ini menjadi semacam konsekuensi moral: jika sudah dimudahkan, maka tidak ada alasan untuk menunda atau mengelak dari pekerjaan.
Refleksi: Nilai yang Lebih Besar dari Sekadar Uang
Ketika membandingkan cerita saya dengan rekan yang setiap hari menempuh perjalanan jauh, saya jadi semakin menghargai posisi ini. Bagi sebagian orang, perjalanan ke kantor adalah perjuangan tersendiri: bangun lebih pagi, terjebak macet, pulang larut, dan harus mengatur ulang energi untuk hari berikutnya.
Saya bersyukur tidak harus mengalaminya, dan bersyukur pula bisa memanfaatkan fasilitas ini untuk menghemat bukan hanya uang, tapi juga tenaga, waktu, dan pikiran.
Pada akhirnya, jawaban atas pertanyaan "berapa ongkos pulang-pergi kerjamu?" bukan sekadar angka di dompet. Ia mencerminkan bagaimana kita mengelola sumber daya yang kita miliki---baik uang, waktu, maupun tenaga---agar setiap hari bisa dijalani dengan lebih efektif dan bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI