Menikah bukan sekadar menyatukan dua hati, tetapi juga dua keluarga, dua latar belakang budaya, dan dua cara pandang tentang banyak hal, termasuk urusan finansial. Salah satu topik yang kerap menjadi batu sandungan dalam rumah tangga baru adalah: bagaimana cara tetap adil memberi uang kepada orangtua, baik dari pihak suami maupun istri?
Dilema ini tak jarang memunculkan gesekan kecil, bahkan perdebatan panjang. Sebagian pasangan berusaha bersikap adil secara nominal---memberi jumlah yang sama untuk kedua pihak. Sebagian lain memilih adil secara kebutuhan---memberi sesuai kebutuhan masing-masing orangtua, meski jumlahnya berbeda. Namun, adil ternyata tak selalu identik dengan sama.
Budaya dan Harapan yang Berbeda
Di Indonesia, konsep memberi kepada orangtua punya landasan sosial, budaya, bahkan religius yang kuat. Banyak anak merasa wajib menyisihkan sebagian penghasilan untuk orangtua sebagai bentuk bakti dan terima kasih. Namun, setelah menikah, kewajiban itu harus dibagi dengan pasangan yang juga memiliki kewajiban serupa.
Perbedaan latar belakang budaya mempengaruhi persepsi. Dalam beberapa keluarga Jawa, misalnya, anak laki-laki dianggap memiliki tanggung jawab lebih besar kepada orangtuanya. Di sebagian keluarga Batak atau Minang, tradisi memberi kepada orangtua bahkan menjadi simbol keberhasilan anak. Sementara di keluarga modern perkotaan, pemberian ini lebih bersifat fleksibel dan disesuaikan kemampuan.
Masalah muncul ketika harapan dari keluarga besar tak sejalan dengan kondisi keuangan rumah tangga. Pasangan muda yang baru memulai kehidupan bersama sering kali menghadapi tekanan dari dua pihak, di tengah kebutuhan sendiri yang juga terus meningkat.
Menentukan Makna 'Adil' dalam Rumah Tangga
Adil tidak selalu berarti membagi sama rata. Dalam konteks ini, adil berarti mempertimbangkan kebutuhan, kemampuan, dan kesepakatan. Orangtua yang masih produktif dan memiliki penghasilan tentu berbeda kebutuhannya dibandingkan orangtua yang sudah lanjut usia dan tidak bekerja.
Maka, diskusi antara suami dan istri menjadi kunci. Keduanya perlu duduk bersama, membicarakan secara terbuka berapa dana yang akan disisihkan setiap bulan, dan bagaimana pembagiannya untuk kedua pihak orangtua. Keputusan ini sebaiknya dibuat sejak awal, sebelum potensi masalah muncul.
Transparansi dan Kepercayaan
Keuangan rumah tangga idealnya dikelola secara terbuka. Ketika salah satu pihak memberi kepada orangtuanya tanpa sepengetahuan pasangan, potensi kecurigaan dan konflik akan membesar. Transparansi bukan sekadar tentang jumlah uang, tetapi juga alasan pemberian tersebut.
Kepercayaan terbangun ketika setiap keputusan finansial diputuskan bersama. Bahkan jika pemberian kepada orangtua harus lebih besar di salah satu pihak karena alasan tertentu, pasangan akan lebih mudah menerima jika prosesnya jelas dan disepakati.
Menyesuaikan dengan Kondisi Keuangan
Pemberian kepada orangtua sebaiknya tidak memaksa hingga mengorbankan kebutuhan pokok rumah tangga. Memiliki dana darurat, membayar cicilan rumah, pendidikan anak, dan kebutuhan sehari-hari tetap menjadi prioritas utama.
Jika kondisi keuangan terbatas, bentuk dukungan kepada orangtua tidak harus selalu berupa uang. Bantuan bisa diberikan dalam bentuk sembako, membayar tagihan listrik, atau membantu mengurus kebutuhan kesehatan. Kreativitas dalam memberi dapat mengurangi beban finansial sekaligus tetap menunjukkan rasa hormat dan bakti.
Kompromi dan Nilai Kemanusiaan
Kompromi adalah kata kunci. Tidak ada formula baku yang berlaku untuk semua keluarga. Setiap rumah tangga memiliki kondisi dan prioritas yang berbeda. Prinsipnya adalah menjaga keseimbangan: orangtua tetap mendapatkan dukungan, rumah tangga sendiri tetap terjaga, dan hubungan dengan pasangan tetap harmonis.
Pada akhirnya, memberi kepada orangtua adalah tentang rasa hormat, cinta, dan penghargaan. Ketika dilakukan dengan kesepakatan dan ketulusan, bantuan itu menjadi berkah, bukan beban. Sebaliknya, jika dipaksakan tanpa musyawarah, ia bisa menjadi bibit masalah yang tumbuh di bawah permukaan.
Menikah bukan berarti memutuskan ikatan dengan orangtua. Justru, ini adalah fase di mana bakti kepada mereka diuji dalam bentuk yang lebih dewasa. Adil memberi kepada orangtua setelah menikah bukanlah tentang nominal semata, melainkan tentang sikap saling mengerti, menghargai, dan berbagi tanggung jawab.
Dalam perjalanan rumah tangga, keadilan bukanlah garis lurus yang kaku, melainkan jembatan yang dibangun dari komunikasi, empati, dan cinta. Dan di ujung jembatan itu, ada keluarga besar yang tetap harmonis dan hubungan pasangan yang semakin kuat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI