Dalam dunia psikoterapi, selingkuh bisa ditangani---tetapi bukan dengan janji kosong, melainkan dengan kerja keras memulihkan kepercayaan, membongkar luka-luka lama, dan belajar membangun relasi yang setara. Terapi pasangan, konseling individu, bahkan rekonstruksi spiritual sering kali dibutuhkan untuk menempuh jalan penyembuhan ini.
Namun di sisi lain, kita juga tak bisa menutup mata bahwa sebagian orang tidak pernah ingin berhenti. Mereka tidak melihat selingkuh sebagai kesalahan, melainkan sebagai "hak pribadi" atau kebebasan emosional. Di titik inilah, selingkuh menjadi bukan soal bisa diobati atau tidak, melainkan soal mau atau tidak diobati.
Budaya yang Membiarkan
Di Indonesia, isu perselingkuhan juga terjerat dalam narasi budaya. Lelaki sering dimaklumi dengan alasan "fitrah poligami", sementara perempuan dituding sebagai penyebab rumah tangga runtuh. Padahal dalam banyak kasus, pelaku selingkuh datang dari kedua gender---dan masing-masing menyimpan dinamika psikologis yang kompleks.
Budaya patriarkal bahkan cenderung membuat selingkuh sebagai bentuk dominasi laki-laki. Sedangkan perempuan yang berselingkuh sering dilabeli lebih kejam, tidak tahu malu, atau tak bermoral. Konstruksi semacam ini justru memperkeruh upaya penyembuhan karena menjadikan penghakiman sebagai pengganti penyadaran.
Refleksi: Saatnya Kita Bicara Lebih Dalam
Selingkuh tidak bisa semata-mata dikecam, lalu ditinggalkan tanpa penyelesaian. Kita perlu memandangnya sebagai gejala dari masalah yang lebih dalam---baik dalam individu, relasi, maupun budaya kita.
Di era keterbukaan ini, relasi antar-manusia seharusnya dibangun di atas fondasi kejujuran dan keberanian untuk bertumbuh bersama. Selingkuh bukan tak bisa diobati, tetapi penyembuhannya butuh proses yang panjang, menyakitkan, dan menuntut keberanian radikal untuk berubah.
Pada akhirnya, semua kembali kepada pilihan. Karena selingkuh, sejatinya, bukan takdir---melainkan keputusan.
Benarkah selingkuh tak bisa diobati? Jawabannya: bisa, jika pelakunya sungguh mau sembuh. Tapi jika tidak, maka itu bukan lagi persoalan terapi---melainkan soal integritas yang telah hilang.
Dan di zaman yang makin sunyi oleh kebisingan ini, integritas barangkali adalah obat paling langka yang kita butuhkan bersama.