Dalam era digital yang dipenuhi kebisingan informasi dan godaan instan, narasi tentang hidup sebagai pilihan menjadi sangat penting. Kita tidak bisa hanya mengikuti algoritma media sosial, iklan gaya hidup, atau tren viral. Kita harus kembali pada pusat kesadaran diri: apa nilai yang kita pegang, apa yang ingin kita wariskan, dan untuk siapa kita hidup.
Menjadi Subjek, Bukan Objek
Pilihan-pilihan hidup tidak selalu besar dan dramatis. Ia bisa hadir dalam bentuk kecil: memilih untuk mematikan ponsel saat makan malam bersama keluarga, memilih untuk membaca buku dibanding menonton drama tiga jam nonstop, atau memilih untuk mengalah demi menjaga hubungan.
Ketika kita tidak lagi sadar bahwa kita sedang memilih, kita menjadi objek dari kehidupan. Hidup menyeret kita tanpa arah. Tapi ketika kita sadar bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk memilih, maka kita menjadi subjek dari kehidupan kita sendiri. Kita tidak hanya hidup, tetapi menghidupi hidup.
Menutup dengan Kesadaran
Di tengah gempuran tuntutan hidup modern---karier, digitalisasi, polarisasi sosial---refleksi tentang pilihan menjadi oase yang menenangkan. Kita tidak bisa mengontrol semua hal dalam hidup. Tapi kita selalu bisa memilih bagaimana meresponsnya. Itulah kebebasan manusia: memilih dengan sadar, bertanggung jawab atas pilihan, dan tidak menyalahkan takdir atas arah yang kita tempuh.
Pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa panjang kita menjalaninya, tetapi seberapa sadar dan bermakna kita menjalaninya. Karena hidup itu, sesungguhnya, pilihan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI