Ada pertanyaan sederhana yang sering kali luput kita ajukan kepada orang yang paling berjasa dalam hidup kita: "Bu, kapan terakhir kali Ibu merasa benar-benar bahagia untuk diri sendiri?" Bukan karena melihat anak sukses, bukan karena suami dapat promosi, dan bukan karena keluarga lengkap saat Lebaran---melainkan bahagia karena Ibu memilih bersenang-senang, menikmati hidup, dan merayakan diri sebagai seorang manusia utuh.
Kita hidup di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi pengorbanan ibu, namun ironisnya, sering lupa bahwa ibu juga butuh waktu untuk dirinya sendiri. Dalam narasi-narasi keibuan yang dilanggengkan dari generasi ke generasi, ibu diposisikan sebagai sosok serba bisa, multitugas, penuh cinta, dan hampir tidak pernah salah. Namun di balik segala label mulia itu, tersimpan beban psikis, emosi, dan fisik yang jarang sekali mendapat tempat untuk dibicarakan.
Saat Ibu Hanya Dikenal Lewat Perannya
Seorang ibu dikenal karena perannya, bukan karena jati dirinya. Ia adalah 'ibunya si A', istri dari si B, atau 'pengurus rumah tangga'. Tapi siapa dia sebelum menjadi ibu? Apa mimpinya? Apa yang ia rindukan? Semua itu perlahan terhapus oleh waktu, ditenggelamkan oleh daftar belanja harian, rapat wali murid, pengeluaran bulanan, dan kebutuhan rumah tangga yang tidak pernah selesai.
Ibu terlalu sering menunda kebahagiaan. Bahkan untuk sekadar menyeruput kopi panas tanpa gangguan pun rasanya seperti kemewahan yang tak pantas. Setiap kali ingin membeli sesuatu untuk dirinya sendiri, ia berpikir dua kali: "Ah, lebih baik buat anak-anak saja." Dan itulah kenapa, ketika kita mencoba mengingat kapan terakhir kali ibu tersenyum lepas, kita sulit menjawabnya.
Pengorbanan Ibu yang Tidak Pernah Diminta, Tapi Selalu Dianggap Wajar
Yang paling menyedihkan adalah ketika pengorbanan ibu dianggap sebagai keniscayaan. Budaya kita telah lama membentuk persepsi bahwa menjadi ibu adalah soal berkorban tanpa pamrih. Maka ketika seorang ibu mengeluh, ia akan dianggap kurang bersyukur. Ketika ia ingin rehat sejenak, ia merasa bersalah. Dan ketika ia menginginkan ruang untuk diri sendiri, ia merasa seperti sedang melawan kodrat.
Padahal tidak ada yang salah dari seorang ibu yang ingin bahagia. Tidak ada yang dosa dari seorang ibu yang sesekali ingin memanjakan dirinya. Justru itu yang membuatnya tetap sehat, tetap kuat, dan tetap utuh menjalani perannya di tengah dunia yang tidak pernah menurunkan ekspektasi terhadapnya.
Beban Mental yang Tidak Terucapkan
Salah satu beban paling berat seorang ibu bukanlah cucian kotor, bukan dapur yang tak pernah berhenti bekerja, tapi beban mental yang tak terlihat---mental load. Ia harus mengingat jadwal vaksin anak, memikirkan menu makan malam, mencatat daftar belanja, dan menjaga agar suasana rumah tetap damai. Semua dilakukan sambil tersenyum, seolah tak ada yang berat.