Jika cinta adalah perasaan yang tidak selalu butuh alasan, maka Persebaya adalah contohnya. Klub sepak bola kebanggaan Kota Surabaya ini telah melahirkan bentuk cinta yang tak biasa. Cinta yang kadang membuat kita tak masuk akal. Bahkan banyak yang dengan percaya diri berseloroh, “Cintaku pada istriku tidak sebesar cintaku pada Persebaya.”
Di tempat lain, pernyataan seperti ini bisa jadi dianggap bercanda atau keterlaluan. Tapi di Surabaya, ungkapan ini justru terdengar sakral. Persebaya bukan sekadar tim kesayangan. Ia adalah lumbung memori kolektif, tempat tumpah ruah emosi, dan rumah spiritual bagi jutaan penggemarnya—yang dengan bangga menyebut diri mereka sebagai Bonek.
Dari Stadion ke Hati: Persebaya dan Kisah yang Tak Pernah Usai
Surabaya tidak hanya dikenal dengan semangat arek-arek pejuangnya. Kota ini juga menyimpan kisah cinta panjang dengan satu entitas bernama Persebaya. Berdiri sejak tahun 1927, Persebaya lahir saat bangsa ini belum merdeka. Sejak itu pula klub ini menjelma menjadi simbol perjuangan, bukan hanya dalam sepak bola, tapi juga dalam urusan identitas dan harga diri.
Bagi warga Surabaya dan sekitarnya, mencintai Persebaya adalah bagian dari tumbuh besar di lingkungan yang tidak mengenal kata menyerah. Persebaya adalah cermin dari karakter khas Surabaya: keras kepala, berani, dan tak kenal takut. Tak heran jika slogan "Persebaya Sampek Kiamat" bukan hanya semboyan kosong. Ia adalah sumpah, tekad yang hidup di dalam dada, dan akan terus hidup hingga akhir zaman.
Cinta yang Bertahan Melewati Badai
Perjalanan Persebaya tidak selalu mudah. Bahkan pernah berada dalam titik nadir, diabaikan, dan dibekukan oleh federasi karena polemik sepak bola nasional. Namun, saat badai menghantam, cinta itu justru semakin menguat. Para pendukungnya tidak mundur. Mereka tetap datang ke stadion, tetap bernyanyi, tetap berteriak—karena mencintai Persebaya bukan soal hasil pertandingan, tetapi soal keberpihakan pada sesuatu yang diyakini benar.
Dan inilah yang membedakan Bonek dari suporter biasa. Mereka tidak sekadar menyaksikan pertandingan. Mereka merawat keyakinan. Mereka menyulam kebersamaan. Mereka menjadikan stadion sebagai ruang spiritual, tempat meluapkan rindu, tawa, tangis, sekaligus amarah. Semua berbaur dalam satu semangat: Persebaya harus tetap hidup.
Cinta yang Diwariskan, Bukan Dipelajari
Jika cinta kepada klub lain bisa datang dan pergi, cinta kepada Persebaya diwariskan. Tidak sedikit orang tua termasuk bapak saya (Alm) mengenalkan Persebaya pada saya sejak masih berumur sekitar 7 tahun. Saya bahkan sering dibelikan jersey hijau legendaris, diajak ke stadion Gelora Tambaksari (sekarang sudah pindah ke Stadion Gelora Bung Tomo), dan didongengi kisah para legenda mulai dari I Gusti Putu Yasa, Budi Johanis, Nuryono Hariyadi, Subangkit, Syamsul Arifin, Mustaqim, Aji Santoso, Yusuf Ekodono, Jacksen F. Tiago, Carlos de Melo, Anang Ma'ruf, Uston Nawawi, hingga Bejo Sugiantoro. Cinta itu tidak dibentuk oleh kemenangan semata. Ia lahir dari kebersamaan dalam suka dan duka.