Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Financial

Bayar Nanti, Bangkrut Duluan: Alarm Krisis Finansial Anak Muda

9 Mei 2025   14:10 Diperbarui: 9 Mei 2025   14:09 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pay later memudahkan, tapi hati-hati: generasi muda bisa terjebak utang konsumtif dan krisis finansial jika tak bijak mengelola keuangan (Foto by freepik.com)

Di era digital serba instan, kemudahan menjadi raja. Belanja cukup lewat ponsel, barang langsung tiba, pembayaran? Bisa nanti saja. Fasilitas buy now, pay later (BNPL), atau lebih populer dengan sebutan pay later, menjadi primadona baru di kalangan generasi muda. Mereka dimanjakan dengan janji kemudahan tanpa ribet, cicilan ringan, bahkan "bebas bunga". Tapi, di balik kemudahan itu, tersembunyi jebakan yang pelan tapi pasti menggerogoti: utang konsumtif yang tak terkendali.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan peningkatan signifikan pengguna layanan pay later dalam lima tahun terakhir. Mayoritas penggunanya adalah milenial dan Gen Z, kelompok usia produktif yang sedang membangun fondasi keuangan. Ironisnya, fasilitas ini lebih banyak digunakan untuk konsumsi jangka pendek, bukan kebutuhan mendesak apalagi investasi produktif.

Mengapa pay later begitu diminati? Jawabannya ada pada psikologi keuangan: sensasi memiliki barang sekarang tanpa perlu membayar langsung memicu kepuasan instan (instant gratification). Sistem cicilan membuat pengeluaran terasa ringan, padahal sebenarnya akumulasi tagihan bisa membengkak. Ditambah proses persetujuan limit kredit yang mudah, tanpa agunan, tanpa cek mendalam, membuat banyak orang merasa berhak memilikinya.

Padahal, di balik janji manis itu tersembunyi biaya administrasi, bunga majemuk, dan denda yang bisa melipatgandakan utang jika lalai. Banyak yang terlena, hingga baru sadar saat tagihan membengkak tak terbayar. Bahkan ada seorang karyawan muda di Jakarta bercerita harus mengalokasikan 60% gajinya hanya untuk membayar cicilan pay later dari lima aplikasi berbeda. Berawal dari membeli ponsel baru, tiket konser, hingga perabot rumah, semua dilakukan dengan pay later. Saat jatuh tempo, ia meminjam dari aplikasi lain untuk menutup utang sebelumnya. Lingkaran setan debt trap pun tak terhindarkan.

Fenomena ini mengungkap lemahnya literasi keuangan generasi muda. Banyak yang belum memahami konsep arus kas, prioritas pengeluaran, hingga bahaya bunga majemuk. Di sisi lain, media sosial membanjiri mereka dengan konten gaya hidup konsumtif: traveling mewah, gadget terbaru, fashion branded. Tekanan sosial menciptakan standar semu bahwa kebahagiaan dan kesuksesan harus ditampilkan lewat kepemilikan barang, meski harus berutang.

Risiko pay later tak berhenti di utang konsumtif. Banyak yang tak sadar keterlambatan bayar tercatat dalam sistem keuangan dan menurunkan credit score. Akibatnya, akses mereka ke pembiayaan produktif di masa depan, seperti KPR, kredit usaha, atau kredit kendaraan, bisa terhambat. Keputusan berutang konsumtif hari ini bisa menghancurkan peluang finansial esok.

Siapa yang bertanggung jawab? Apakah ini murni kesalahan pengguna? Tidak sepenuhnya. Industri fintech turut berperan menormalisasi budaya utang cepat tanpa edukasi memadai. Iklan masif, promo eksklusif, kemudahan akses membuat layanan ini seolah hak, bukan tanggung jawab.

Pemerintah, regulator, dan pelaku industri perlu berkolaborasi. Edukasi keuangan harus menjadi syarat layanan digital. Tidak cukup hanya disclaimer kecil atau syarat ketentuan panjang. Dibutuhkan kampanye literasi keuangan kreatif, relevan dengan dunia generasi muda: lewat media sosial, video pendek, influencer, bahkan gamifikasi.

Kurikulum sekolah pun harus memasukkan pengelolaan keuangan pribadi sejak dini. Remaja perlu dibekali keterampilan membuat anggaran, memahami risiko utang, dan membedakan kebutuhan dengan keinginan. Literasi keuangan bukan hanya teori, tapi pola pikir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun