Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar peringatan seremonial yang berulang setiap 2 Mei. Ia adalah refleksi --- tentang apa yang telah kita capai, apa yang kita abaikan, dan kemana kita seharusnya bergerak. Di tengah dunia yang terus bertransformasi, makna pendidikan pun bergeser: dari sekadar transmisi ilmu, menjadi proses pembebasan manusia dari keterbatasan, ketidakadilan, dan ketertinggalan.
Spirit itulah yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Baginya, pendidikan bukan soal mengejar gelar atau memadatkan kepala dengan hafalan, melainkan membentuk manusia yang merdeka: berpikir bebas, berbudaya, dan berbudi pekerti. Namun, pertanyaannya kini: sudahkah semangat itu hidup dalam denyut pendidikan kita hari ini?
Pendidikan dalam Tekanan Zaman
Hari ini, dunia bergerak cepat. Teknologi mengubah segalanya: cara kita bekerja, berinteraksi, bahkan berpikir. Generasi muda dihadapkan pada dunia yang jauh berbeda dengan zaman orang tua mereka: lebih kompleks, lebih kompetitif, lebih penuh tantangan.
Namun sayangnya, sistem pendidikan kita masih sering terseok. Alih-alih menyiapkan anak-anak menjadi pelaku perubahan, kita kadang masih terjebak dalam logika lama: mengejar nilai ujian, menumpuk hafalan, mendewakan seragam prestasi. Banyak guru yang dibebani administrasi ketimbang diberdayakan untuk membimbing. Banyak siswa yang dijejali kurikulum padat tanpa ruang untuk bertanya, mengeksplorasi, atau berkreasi.
Pendidikan yang membebaskan --- cita-cita luhur itu --- justru kadang terperangkap dalam birokrasi dan rutinitas.
Menyulut Semangat Baru
Merayakan Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momentum membangkitkan kesadaran bersama: bahwa pendidikan bukan tentang menghasilkan manusia seragam, melainkan manusia yang beragam, kritis, inovatif, dan berdaya.
Perlu perubahan paradigma. Guru bukan lagi sekadar "pemberi ilmu," melainkan fasilitator pertumbuhan. Sekolah bukan lagi "pabrik nilai," melainkan ruang aman untuk bereksperimen, gagal, bangkit, dan berkembang. Pendidikan berbasis proyek, pembelajaran kontekstual, hingga literasi digital harus menjadi keniscayaan, bukan tambahan.
Lebih dari itu, kita harus kembali pada esensi: mendidik karakter, bukan hanya kecerdasan. Mengajarkan integritas, empati, cinta tanah air, dan semangat gotong royong. Karena di tengah kemajuan teknologi yang tak terbendung, karakterlah yang akan membedakan bangsa yang unggul dari yang tertinggal.
Tugas Kita Bersama
Masa depan pendidikan bukan hanya tugas guru atau pemerintah, tapi juga kita semua: orang tua, komunitas, dunia usaha, media. Investasi pada pendidikan bukan hanya soal anggaran, tapi soal komitmen jangka panjang membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Mendorong pelatihan guru yang relevan, memperluas akses internet ke pelosok, memperkaya bahan ajar dengan konteks lokal, hingga memperkuat budaya literasi di rumah --- semua itu bagian dari gerakan besar untuk mewujudkan pendidikan yang membebaskan.
Hari Pendidikan Nasional bukan milik ruang kelas saja. Ia milik setiap sudut kehidupan kita.
Merdeka Belajar, Merdeka Bermimpi
Ketika Ki Hadjar Dewantara menyerukan "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani," ia mengingatkan bahwa pendidikan adalah tentang keteladanan, pemberdayaan, dan dukungan --- di mana pun kita berada.
Maka di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita bertanya bukan hanya apa yang sudah dilakukan pemerintah, tapi apa kontribusi kita. Mari membangun ruang-ruang belajar yang membebaskan: di rumah, di komunitas, di dunia maya. Karena di tangan kita semua, cita-cita pendidikan yang membebaskan akan terus menyala --- melintasi zaman, melampaui sekadar seremonial.
Selamat Hari Pendidikan Nasional - Kobarkan Semangat Merdeka belajar, merdeka bermimpi!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI