Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Serakahnomics: Jembatan Komunikasi Politik dalam Demokrasi Deliberatif Indonesia

22 Juli 2025   15:00 Diperbarui: 22 Juli 2025   15:13 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Marhaen, Keadilan Sosial dan Persatuan Nasional (Sumber: ai generate 2025)

Salah satu aspek paling menarik dari komunikasi politik dalam kasus oplosan beras adalah transformasi narasi yang dilakukan dari tingkat menteri ke presiden. Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam paparannya fokus pada kerugian konsumen, sementara Presiden Prabowo mengalihkan framing menjadi "kerugian negara Rp 100 triliun." Pergeseran ini bukan sekadar perbedaan angka, melainkan strategi dan konsep komunikasi politik yang muktahir dengan implikasi manifestasi ideologis yang mendalam.

Perubahan dari narasi "konsumen dirugikan" menjadi "negara dirugikan" memiliki makna politik yang signifikan. Ketika isu dibingkai sebagai kerugian konsumen, dampaknya cenderung dipersepsikan sebagai masalah individual atau sektoral. Namun ketika dibingkai sebagai kerugian negara, masalah ini langsung terangkat menjadi isu kedaulatan dan kepentingan nasional. 

Prabowo tahu betul bahwa polemik beras oplosan tak sekadar masalah warga tetapi juga negara. Prabowo mengajak warga untuk merasa bahwa melindungi kepentingan mereka sama dengan melindungi negara, sehingga menciptakan rasa solidaritas Nasional. Transformasi ini memperkuat legitimasi kebijakan pemerintah untuk mengambil tindakan tegas, karena tidak lagi sekadar melindungi konsumen, tetapi membela kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Dampak psikologis dari pergeseran narasi ini juga tidak dapat diabaikan. Framing "negara dirugikan" menciptakan musuh bersama yang jelas—para pelaku "serakahnomics"—yang dengan mudah dapat dimobilisasi untuk membangun dukungan publik. Sentimen nasionalisme dan rasa memiliki terhadap negara menjadi energi politik yang mendukung kebijakan pemerintah dalam memberantas praktik-praktik eksploitatif ini. Dengan demikian, transformasi narasi ini tidak hanya mengubah perspektif tentang masalah, tetapi juga mengubah dinamika politik di sekitarnya.

Marhaenisme: Ideologi Kritik yang Relevan

Untuk memahami konteks ideologis dari konsep "serakahnomics," penting untuk melihatnya dalam kerangka pemikiran politik Indonesia yang lebih luas, khususnya hubungannya dengan warisan intelektual Marhaenisme. Marhaenisme, sebagaimana dikonsepsikan oleh Soekarno, adalah ideologi yang menekankan perlunya ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat kecil, sambil menolak eksploitasi kapitalis tanpa menghapuskan mekanisme pasar secara total—sebuah nuansa yang sering luput jika tidak menelaah kembali gagasan Soekarno dalam 'Kapitalisme Bangsa Sendiri' (DBR Jilid I). 

Dalam konteks ini, "serakahnomics" dapat dipahami sebagai manifestasi dari apa yang dapat disebut sebagai "Marhaenisme"—sebuah adaptasi kontemporer ideologis tanpa perlu menambahkan istilah “Neo” seperti “Neo-Marxisme”, Sebab, Marhaenisme sendiri pada hakikatnya adalah Marxisme yang diindonesiakan/diinstitusionalisasikan dalam kerangka negara—yakni suatu pembacaan historis-materialis yang disesuaikan dengan kondisi konkret bangsa Indonesia, di mana proletariat digantikan oleh Marhaen, simbol rakyat kecil pemilik alat produksi yang tereksklusi dari struktur modal.

Dalam kerangka ini, negara bukan semata-mata aparatus represi (RSA) seperti dalam pembacaan Marxis ortodoks, melainkan alat perjuangan nasional (ISA) yang sah untuk mewujudkan keadilan sosial sebagai amanat revolusi (Baca juga: Althusser). Oleh karena itu, Marhaenisme mengintegrasikan elemen perjuangan kelas dengan kesadaran kebangsaan, menjadikannya sebagai proyek emansipasi yang bersifat ganda: melawan ketimpangan ekonomi sekaligus membebaskan diri dari imperialisme struktural.

Konsep “serakahnomics” dapat dilihat sebagai ironi kritis terhadap distorsi agenda Marhaenis ini—yakni ketika negara justru menjelma sebagai alat reproduksi kerakusan elite, bukan lagi instrumen pembebasan kolektif. Maka, dalam terang Marhaenisme, kritik terhadap “serakahnomics” bukanlah sekadar keluhan moral, melainkan upaya untuk mengembalikan peran negara sebagai pelindung rakyat, bukan makelar kepentingan oligarki.

Konektivitas antara “serakahnomics” dan marhaenisme terletak pada semangat kritik terhadap praktik ekonomi yang eksploitatif, namun tanpa menolak sepenuhnya kerangka ekonomi modern. Seperti halnya Marhaenisme—yang menolak kapitalisme liar tanpa jatuh ke dalam ekstrem sosialisme—konsep “serakahnomics” mengangkat kritik terhadap kerakusan elite ekonomi dalam bahasa yang lebih komunikatif dan terjangkau bagi rakyat. Keduanya mencerminkan pragmatisme politik yang berupaya menyeimbangkan efisiensi pasar dengan keadilan sosial melalui intervensi negara yang terukur. 

Dalam konteks kontemporer seperti kasus oplosan beras, pendekatan ini tampak dalam tindakan negara yang tidak semata-mata menindak pelaku eksploitatif, tetapi juga memperbaiki struktur distribusi tanpa membatalkan prinsip pasar. Dengan demikian, “serakahnomics” sebagai ekspresi Marhaenis bukan sekadar retorika populis, melainkan artikulasi kontemporer atas kebutuhan akan negara yang berpihak pada rakyat melalui regulasi yang adil dan fungsional sesuai kerangka ideologis yang menavigasi keputusan bijaksana dalam dilema tersebut.

Implikasi untuk Demokrasi Deliberatif Indonesia

Penggunaan konsep “serakahnomics” memiliki implikasi penting bagi penguatan demokrasi deliberatif di Indonesia. Demokrasi deliberatif menuntut adanya ruang diskusi publik yang inklusif dan berkualitas—dan ini hanya mungkin jika isu-isu kompleks seperti kebijakan ekonomi dapat dipahami secara luas. Dalam konteks ini, “serakahnomics” berperan sebagai bentuk demokratisasi bahasa kebijakan: menyederhanakan narasi teknokratis menjadi kosakata yang dekat dengan rakyat, sehingga membuka partisipasi publik yang lebih bermakna dan berbasis pemahaman, bukan sekadar kepercayaan atau delegasi pasif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun