Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

PSI, E-Voting, dan Demokrasi yang Terlalu Dangkal

20 Juli 2025   08:00 Diperbarui: 20 Juli 2025   07:29 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi e-voting (sumber: generate ai 2025)

E-Voting, Revolusi Partisipasi, dan Pertanyaan Kualitas

"Revolusi demokrasi," demikian Presiden Joko Widodo menyebut sistem e-voting yang diadopsi oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam Kongres terbarunya, di mana Kaesang Pangarep terpilih sebagai Ketua Umum periode 2025-2030. Bersamaan dengan itu, Presiden ketujuh itu juga menyebut PSI sebagai "Partai Super Tbk," metafora yang tampaknya menandakan efisiensi, keterbukaan, dan transparansi. Semangat progresif di balik pernyataan tersebut tidak dapat diabaikan: 

ada ikhtiar untuk mengatasi dominasi oligarki dalam tubuh partai politik pada umumnya, sekaligus merangkul aspirasi realitas masyarakat digital yang haus akan keterlibatan langsung.

Namun, di balik kemilau retoris dan kemudahan teknologis itu, muncul kegelisahan ontologis: apakah e-voting semata cukup untuk mewakili semangat demokrasi yang sejati? Apakah sistem ini benar-benar merevolusi kualitas keputusan politik, ataukah hanya menyederhanakan prosedur tanpa memperdalam isi?

Penulis—yang juga merupakan anggota PSI—hendak mengajukan argumen bahwa, meski e-voting membawa angin segar dalam hal efisiensi dan inklusivitas teknis, namun justru berisiko mereduksi demokrasi menjadi sekadar agregasi preferensi personal yang belum tentu rasional. 

Tanpa diimbangi dengan mekanisme deliberatif yang kuat dan sistem musyawarah yang terstruktur, e-voting berpotensi menciptakan legitimasi semu yang memperkuat kooptasi terselubung. Artikel ini akan menelusuri perbedaan fundamental antara voting sebagai instrumen agregasi dan deliberasi kolektif sebagai mekanisme rasionalisasi, serta mengusulkan jalan institusional ke depan bagi PSI pasca kongres 2025 untuk menjaga kualitas demokrasinya.

E-Voting ala PSI: Efisiensi, Personalisasi, dan Rentannya Kooptasi Terselubung

E-voting, dalam tataran teknis, memang menjanjikan kecepatan, efisiensi, dan keterbukaan. Bagi PSI yang sedari awal menahbiskan diri sebagai partai anak muda yang melek digital, penerapan e-voting untuk memilih ketua umum adalah langkah yang sejalan dengan brand politik mereka. Tidak ada antrean fisik, tidak perlu logistik besar, dan setiap anggota bisa berpartisipasi dari mana pun, bahkan hanya dengan ponsel. Namun, dalam konteks kongres partai, e-voting bukan sekadar alat, melainkan mekanisme yang memuat asumsi-asumsi politik tertentu.

Pertama, e-voting mengasumsikan bahwa setiap suara anggota partai memiliki bobot dan kualitas yang setara, tanpa memperhitungkan sejauh mana anggota itu aktif dalam wacana internal partai atau memiliki pemahaman terhadap isu strategis yang dihadapi. Akibatnya, suara yang diberikan karena popularitas figur atau karena dorongan emosional di media sosial bisa setara (dan bahkan lebih dominan) dibandingkan suara yang lahir dari proses pemikiran dan pertimbangan rasional. Demokrasi prosedural semacam ini berisiko mengesampingkan proses penalaran politik yang sehat dan kolektif.

Kedua, personalisasi dalam pemilihan semakin dipertajam ketika figur seperti Kaesang—dengan modal sosial, politik, dan simbolik sebagai anak (mantan) presiden—ikut bertarung. E-voting tidak memiliki mekanisme auto-koreksi terhadap ketimpangan modal politik ini. Justru, sistem ini cenderung memperkuat kooptasi simbolik, seolah-olah prosesnya netral dan terbuka, padahal mungkin sudah dibanjiri oleh struktur dominasi dan pengaruh luar. Dalam pengertian ini, e-voting malah menjadi kendaraan legitimasi atas proses kooptasi yang tidak kasatmata sebagaimana yang kerap diwacanakan teori kritis.

Ketiga, dengan mengutamakan kecepatan dan kesederhanaan, e-voting menyingkirkan kemungkinan membangun konsensus rasional atau sekadar menyerap argumen tandingan secara sistematis. Pemilihan hanya menjadi hitungan suara, bukan arena gagasan. Padahal, politik bukan hanya soal menang dan kalah, melainkan soal bagaimana keputusan bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual—segenap akal dan budi—oleh semua pihak yang terlibat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun