"Lena," gumamnya, seperti menyapa seseorang dari masa lalu,
"apakah kamu masih mempercayai simetri? Karena aku baru saja membengkokkannya."
**********
Di salah satu gang belakang Beyoglu, tempat cahaya lampu jalan hanya menyentuh sebagian tembok, Lena bersandar sejenak di dinding batu tua. Bau garam dari Bosphorus masih mengambang di udara, bercampur aroma aspal hangat dan asap kebab dari kejauhan.
Langkah kaki para pejalan terdengar mengambang, dan musik lawas Turki terdengar samar dari sebuah kafe di tikungan. Lampu trem menyapu bayangan, menciptakan siluet-siluet yang mengalir seperti mimpi yang tak selesai.
Lena menggenggam lututnya. Napasnya dalam, tetapi terasa tertahan.
"Ini bukan hanya tentang menghentikan Elias," katanya pada Ethan tanpa menatapnya.
Ethan, yang berdiri tak jauh darinya, menyalakan rokok. Api menyala sebentar, memantulkan garis lelah di wajahnya. Ia menghembuskan asap pelan.
"Tapi?" tanyanya.
Lena memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali ke langit malam Istanbul yang ditaburi lampu. Di situ, bintang tak terlihat, hanya gemerlap kaca dan cahaya palsu.
"Tapi tentang memahami," ucapnya pelan. "Mengapa dunia mulai percaya bahwa ancaman adalah satu-satunya bahasa yang didengar."