Mohon tunggu...
Swarna
Swarna Mohon Tunggu... Lainnya - mengetik 😊

🌾Mantra Terindah🌿

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebutir Embun di Hati Kelana

12 Agustus 2022   19:25 Diperbarui: 12 Agustus 2022   20:17 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Emak terlihat mulai sedikit lelah, aku tak tega melihatnya, kuhampiri dan berusaha membantu dengan tangan kecilku sebisa dan semampuku. Ia hanya tersenyum dan memintaku untuk meninggalkannya menyuruhku belajar. Kukatakan bila tugas sekolahku sudah selesai. Pelajaranku saat ini bagaimana aku bisa menggerakkan tangan dan kakiku meringankan pekerjaan emak.

Naluri kanak-kanakku memang pasti akan ingin bebas bermain,bersama teman sebaya. Namun ada sisi lain di hatiku yang tak tega bila melihat Emak bekerja sendiri. Sekadar membantu menjemur gabah yang tak seberapa banyak dari hasil sawah.

Aku bertanya mengapa tidak dijual saja nanti tinggal beli beras daripada capek bolak-balik menjemur gabah. Emak bilang masih ada tetangga yang mempunyai mesin penggiling gabah keliling, jadi harus saling membantu. Toh juga masih ada halaman yang cukup luas untuk menjemur. Benar juga, tidak selalu harus meniru gaya hidup orang lain, mempertahankan gaya hidup lama bukan berarti ketinggalan, ini pilihan.

Bapak pun memanfaatkan tanah disamping rumah untuk bertanam sayuran. Bukan tak mau membeli sayur di pasar atau penjual keliling, bila hasil panen bagus malah sayur dijual murah pada tukang sayur, atau dibagikan pada tetangga.

Bapak bilang biar zaman makin berkembang dengan berbagai teknologi dan persaingannya, itu sudah lumrah karena banyak manusia pandai dan cerdas. Namun gaya hidup yang tetap bijak dan sederhana adalah sikap bersahaja yang sudah tertanam sejak kecil.

Pernah suatu ketika ada seorang anak muda yang bertandang ke rumah, dengan cerita dan alasannya ia ingin numpang tinggal beberapa hari karena ada urusan penting di desaku. Emak pasti takut ada apa-apa karena ia orang asing, melihat berita di televisi banyak penipuan dan sebagainya membuatnya khawatir. Dengan sabar bapak meyakinkan dan menjamin bahwa tidak akan ada apa-apa.

Bapak selalu mengingatkan agar menggunakan hati untuk melihat bukan hanya dengan mata dan bila ingin menolong tidak berharap balas budi dari orang yang telah diberi pertolongan. Kebaikan apa saja yang sudah dilakukan pun tidak boleh dihitung-hitung, lebih baik menghitung kesalahan dan kekurangan diri sendiri. Begitu nasehat bapak.

Pekerjaan emak sudah selesai, mungkin akan sedikit lama bila tidak ada yang membantu. Semua gabah telah masuk karung dan disimpan di dekat dapur, baru besok digiling. Andai aku tak segera membantu pasti kerepotan bila tiba-tiba air hujan yang mulai rindu mengguyur mencium bumi seperti saat ini.

Beberapa pejalan kaki dan pedagang keliling yang tak membawa payung berteduh di teras rumahku. Bapak memanggilku agar menyuguhkan teh panas pada mereka. Emak membuat dalam satu teko besar. Hujan di saat ini tak bisa diperkirakan, di musim kemarau begini bisa saja turun deras, padahal beberapa saat lalu matahari masih cerah.

Kuletakkan teh panas di meja dan kupersilakan mereka meminumnya. Cuaca yang dingin di bulan ini makin tambah terasa dingin dengan guyuran air langit. Bapak mengajarkan agar selalu berbuat kebaikan pada orang lain walaupun itu hanya seteguk air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun