Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sebutir Embun di Hati Kelana

12 Agustus 2022   19:25 Diperbarui: 12 Agustus 2022   20:17 314 30
Emak terlihat mulai sedikit lelah, aku tak tega melihatnya, kuhampiri dan berusaha membantu dengan tangan kecilku sebisa dan semampuku. Ia hanya tersenyum dan memintaku untuk meninggalkannya menyuruhku belajar. Kukatakan bila tugas sekolahku sudah selesai. Pelajaranku saat ini bagaimana aku bisa menggerakkan tangan dan kakiku meringankan pekerjaan emak.

Naluri kanak-kanakku memang pasti akan ingin bebas bermain,bersama teman sebaya. Namun ada sisi lain di hatiku yang tak tega bila melihat Emak bekerja sendiri. Sekadar membantu menjemur gabah yang tak seberapa banyak dari hasil sawah.

Aku bertanya mengapa tidak dijual saja nanti tinggal beli beras daripada capek bolak-balik menjemur gabah. Emak bilang masih ada tetangga yang mempunyai mesin penggiling gabah keliling, jadi harus saling membantu. Toh juga masih ada halaman yang cukup luas untuk menjemur. Benar juga, tidak selalu harus meniru gaya hidup orang lain, mempertahankan gaya hidup lama bukan berarti ketinggalan, ini pilihan.

Bapak pun memanfaatkan tanah disamping rumah untuk bertanam sayuran. Bukan tak mau membeli sayur di pasar atau penjual keliling, bila hasil panen bagus malah sayur dijual murah pada tukang sayur, atau dibagikan pada tetangga.

Bapak bilang biar zaman makin berkembang dengan berbagai teknologi dan persaingannya, itu sudah lumrah karena banyak manusia pandai dan cerdas. Namun gaya hidup yang tetap bijak dan sederhana adalah sikap bersahaja yang sudah tertanam sejak kecil.

Pernah suatu ketika ada seorang anak muda yang bertandang ke rumah, dengan cerita dan alasannya ia ingin numpang tinggal beberapa hari karena ada urusan penting di desaku. Emak pasti takut ada apa-apa karena ia orang asing, melihat berita di televisi banyak penipuan dan sebagainya membuatnya khawatir. Dengan sabar bapak meyakinkan dan menjamin bahwa tidak akan ada apa-apa.

Bapak selalu mengingatkan agar menggunakan hati untuk melihat bukan hanya dengan mata dan bila ingin menolong tidak berharap balas budi dari orang yang telah diberi pertolongan. Kebaikan apa saja yang sudah dilakukan pun tidak boleh dihitung-hitung, lebih baik menghitung kesalahan dan kekurangan diri sendiri. Begitu nasehat bapak.

Pekerjaan emak sudah selesai, mungkin akan sedikit lama bila tidak ada yang membantu. Semua gabah telah masuk karung dan disimpan di dekat dapur, baru besok digiling. Andai aku tak segera membantu pasti kerepotan bila tiba-tiba air hujan yang mulai rindu mengguyur mencium bumi seperti saat ini.

Beberapa pejalan kaki dan pedagang keliling yang tak membawa payung berteduh di teras rumahku. Bapak memanggilku agar menyuguhkan teh panas pada mereka. Emak membuat dalam satu teko besar. Hujan di saat ini tak bisa diperkirakan, di musim kemarau begini bisa saja turun deras, padahal beberapa saat lalu matahari masih cerah.

Kuletakkan teh panas di meja dan kupersilakan mereka meminumnya. Cuaca yang dingin di bulan ini makin tambah terasa dingin dengan guyuran air langit. Bapak mengajarkan agar selalu berbuat kebaikan pada orang lain walaupun itu hanya seteguk air.

Nasehat Emak, kebaikan kadang tidak harus ditunjukkan dengan pemberian barang atau benda, bila tak punya, sikap yang santun dan ramah juga merupakan kebaikan. Begitu pun yang diajarkan guru agama di sekolah, kebaikan pada orang tua juga harus selalu dilakukan.

Dan sekarang, aku Kelana malah ditertawakan teman-teman karena dari pagi sampai pulang sekolah tak henti tersenyum, mereka merasa aneh dengan tingkahku. Rudi tertawa sampai memegangi perutnya melihatku yang biasanya jutek kok jadi senyam-senyum sepanjang hari.

"Lan, kamu kesambet dimana sih?" Rudi berteriak dari ujung jalan.

"Di belakang rumahnya barangkali, kan ada pohon juwet yang angker." Panji menimpali

"Sejak kapan juwet jadi angker?" sahut Kenar.

"Sejak buah itu kamu makan dan bibirmu jadi ungu."  aku jawab sambil berlalu.

Dasar anak-anak itu, masak orang mau jadi baik malah diketawain. Mungkin terlalu lebay juga senyumanku, ya biar saja yang penting tak menyeringai.

****

Bulan mulai purnama, pasti tetangga sebelah akan melantunkan lagu Megi. Z sekencang-kencangnya seolah agar seluruh jagad tahu suara dia merdu sekali, ya, merusak dunia hehehe. Emak dan Bapak sedang asik melihat televisi, berita yang sedang viral. Tentang anak manusia yang berbuat khilaf melenyapkan nyawa anak manusia lain hanya karena emosi amarah.

Mataku memang ke arah buku tapi telingaku menangkap suara berita di televisi. Semakin hari manusia sudah tak malu lagi berbuat keji pada manusia lain. Padahal ajakan dan ajaran berbuat kebaikan tak henti-henti diplokamirkan.

Tiba-tiba terdengar suara dari balik jendela, "Sssttt! Na, keluarlah sebentar." ternyata Rudi, sepertinya ia tak tenang bila tak menggangguku malam-malam begini.

Kubuka jendela kamar, "Ada apa? Gak ada kerjaan ya?"

"Nganu, sebentar saja, aku mau tanya PR." Wajahnya diseting memelas tampak dalam keremangan cahaya bulan.

"Kerjakan sendiri, kamu kan jenius, jangan menjatuhkan harkat dan martabatmu, aku harus konsentrasi nih." Sengaja kutolak permintaannya karena tak ada guna aku mengajari, dia anaknya sudah cerdas sejak janin.

Jendela sudah mau kututup, tapi ditahan oleh tangannya, "Katanya harus saling membantu, tolong menolong, katanya mau jadi orang baik."

"Tumben kamu tanya sih, biasanya sudah meroket, ada apa nih?" Kembali jendela kubuka lebar dan sedikit mendekatkan wajah agar suaraku tidak terdengar kemana-mana."

"Tidak ada apa-apa sih, cuma mau belajar bersama." Rudi menjawab sambil garuk-garuk rambutnya.  Ealah, alasannya hanya itu. Aku segera keluar dengan membawa buku dan gawai lewat jendela seperti biasanya. Kami pun mengerjakan PR di atas balai-balai bambu ditemani angin malam yang sejuk serta suara kodok. Sebelum jarum jam di angka sembilan tugas sudah usai dan Rudi pamit pulang.

"Makasih, Lan. kamu memang baik."
"Embel ah, gak perlu dipuji, aku tak suka, kata Bapak dan Emakku nanti rambutku bisa rontok karena besar kepala."

Rudi pun ngakak sambil berlalu, segera aku masuk lompat jendela, sebelum kututup kembali kulihat wajah rembulan yang masih indah, suasana terasa aneh, ternyata tak kudengar lagi tetangga menyanyi dangdut rembulan bersinar lagi, mungkin sudah kering tenggorokannya.

Selamat malam segala kebaikan, jangan pernah memberi kesempatan pada keburukan dan kejahatan untuk mengambil alih tempatmu. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun