Mohon tunggu...
Swarna
Swarna Mohon Tunggu... Lainnya - mengetik 😊

🌾Mantra Terindah🌿

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jembatan Janji

26 Maret 2020   01:11 Diperbarui: 26 Maret 2020   01:12 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian 1

Hari ini seluruh hidupku seperti sudah tak berarti lagi, tapi harus bisa menerima apa yang harus kuhadapi, melalui dengan rela bahkan yang harus menyakitkan sekali pun.

Aku tak tahu apakah segala peristiwa akan menempaku menjadi dewasa atau semakin rapuh.

Aku belum bisa menyadarkan pikiranku,  dari mimpi buruk yang sudah meliputi hariku. Lima tahun bersama Johan bukan waktu yang singkat dan bukan pula yang begitu lama,  karena masih merasa kemarin kami duduk di kursi pelaminan. 

Tapi belum ada keceriaan buah hati yang melengkapi kebersamaan ini. Aku sudah berusaha dan pasrah ketika yang kuasa masih memberi kesempatan pada kami untuk merasa seperti pasangan yang sedang kasmaran.

Pertemuan kami memang bukan lewat saling mengenal lalu berpacaran. Kami adalah manusia yang dipertemukan dari kecewa dan luka dengan alasan masing-masing. Jadi bukan atas dasar cinta.  Kami seolah hanya saling mengisi dan menemani saja, suatu saat akan dilepas ketika yang dinanti telah datang menghampiri.

Seperti hari ini,  aku telah ditenggelamkan oleh peristiwa yang akan menentukan bagaimana aku esok hari. Nasibku ada ditanganku sendiri. Aku masih bisa bersandiwara seolah tak terjadi apa-apa dan seolah hatiku biasa saja.

"Sari."

Aku sedikit terkejut ketika Johan memanggilku, dan segera menciptakan senyum agar dia tidak curiga dengan pikiran dan hatiku.

"ya, aku di sini. "

"Kamu tak menjawab salamku, aku kira kamu keluar atau tertidur."

"Tidak,  aku sedang mencabuti rumput di pot ini.  Sayang bunganya tak indah bila rumputnya rimbun."

Aku segera mencuci tangan dan ke dapur untuk membuatkan teh kesukaannya.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"

"Tidak ada masalah,  hanya jam kerja dikurangi,  juga hari kerja jadi dibuat bergantian. Besok giliran aku di rumah."

"Semoga wabah ini segera berlalu ya, kasihan orang-orang yang penghasilannya dari berdagang."

"Iya,  dan aku minta maaf jadi tak bisa mengajakmu jalan-jalan menghilangkan kejenuhan di rumah."

"Tidak apa-apa, bukankah semua orang juga ada di rumah masing-masing."

Aku suguhkan teh kesukaannya, aku duduk di depannya,  menunggu sesuatu yang sepertinya akan dia sampaikan.  Aku sudah menyiapkan diriku jauh hari tanpa sepengetahuan dia.

"Tidak melanjutkan membuat bros?"

"Belum ada pesanan. Aku hanya membuat untuk koleksi display saja."

"Sari."

"Ya?"

"Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu."

"Oh ya?  Apa itu?  Semoga berita menyenangkan." Aku masih bersikap biasa. Ini sungguh berat tapi harus aku lakukan.

"Masih ingat perjanjian kita?"

Deg!  Benar dugaanku,  tapi janji memang harus ditepati apapun yang sudah terlewati.

"Pasti donk,  bagaiman menurutmu?" Aku berlagak sudah siap dan masih komit dengan hitam di atas putih yang hanya diketahui kami berdua.

"Sonia, dia pulang dan mencariku."

"Waow surprise,  doamu terkabul Johan."

"Kamu tidak khawatir?"

"Kita masih menyimpan perjanjian itu kan? Kamu menanyakan itu berarti masih berlaku kan?"

"Lantas bagaimana dengan kamu?"

"Aku baik-baik saja,  tidak ada masalah. Kita sudah sepakat bukan?"

"Lima tahun kita bersama itu bukan waktu sebentar,  aku juga harus memikirkan itu."

"Seandainya perjanjian itu tak berlaku kan harusnya sudah lama kita ganti atau kita bicarakan jauh-jauh hari."

"Iya."

"Karena itu kamu yang meminta,  jadi aku iya saja, kalau sekarang sudah waktunya,  ya aku iya saja Han,  santuy jangan menjadi sebuah tekanan dalam hati dan pikiranmu."

Johan lalu berdiri dari duduknya,  dia menghampiriku,  lalu menarikku berdiri dan memelukku lama. Aku hanya bisa menahan genangan embun di mata agar tak jatuh.  Aku akan tunjukkan aku bisa,  aku tegar aku berkomitmen. Walau mulai merasa ada sepotong hatiku yang akan hilang.

Aku melepaskan pelukannya,  mencoba tetap tersenyum agar dia tak berat untuk menentukan pilihannya.

"Johan,  dia cintamu bukan? Yang sudah lama hampir seluruh usiamu menantinya.  Dia sudah datang untuk membahagiakanmu,  tunggu sebentar ya."

Aku masuk ke kamar, membuka lemari dan mengambil map yang berisi perjanjian.

"Ini Johan,  toh kita sampai saat ini juga belum diberi amanah buah hati,  tak apa-apa,  ini memang jalanku, dan kamu tak perlu khawatir. Aku bisa menjelaskan nanti pada kakakmu. Beruntungnya Bapak Ibu sudah tiada,  tidak ada beban untukmu melangkah. Biar aku yang menjelaskan pada orang tuaku tak apa-apa."

"Sari,  mengapa kamu baik?  Memberi kebebasan padaku, mengapa tak marah?"

"Hidup bersama itu harus bahagia,  jangan ada keterpaksaan, aku tak bisa memaksamu karena ini." aku buka map itu. Ada keraguan di matanya. Ah Johan mengapa kamu tercipta sulit untuk menentukan hati.

"Buatlah alasan tepat,  agar perpisahan kita dipermudah. Uruslah segera tak apa-apa. Sambutlah masa depan yang sudah kau nanti dari lima tahun lalu."

"Terima kasih Sari."

Aku hanya mengangguk,  menelan ludah yang terasa pahit.

"Besok,  aku urus semua."

Aku mengangguk, "Iya,  aku juga mulai berkemas."

Aku harus kuat,  bisa menerima,  ini bukan akhir segalanya. Aku sudah terlatih dari kecil untuk bisa menerima keadaan. Bukan lemah,  tapi memberi kesempatan pada yang lain untuk bahagia. Walau sebenarnya itu tak mudah. Entah apa aku bisa menyimpan kenangan lima tahun dalam peti waktu. Tapi aku yakin semua akan baik-baik saja.

***

Berlanjut

Teras Cerita, 26.03.2020
swarnahati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun