Makin banyak juga marketnya, sekarang kita cukup bahagia dengan pendapatan penonton, kayak film kemarin 'Diambang Kematian' 2,8 juta. Terus habis itu film 'Airmata Diujung Sajadah' 3 juta. Tapi kemudian jumlah-jumlah tersebut tidak saja membuat kita bahagia, tapi juga membuat kita pastinya lebih punya banyak tanggung jawab.Â
Habis ini kita mau menyajikan apalagi untuk marketnya kan...kita berharap market kemudian berbondong-bondong ke bioskop, atau kemudian marketnya terus berbondong-bondong nonton film indonesia", ucap Lela lagi.
Keberagaman genre yang muncul dipasaran juga akan memacu pertumbuhan film indonesia, ke arah lebih baik.Â
Pun dengan situasi ini, filmaker serta segenap insan perfilman, juga harus berbenah untuk lebih siap menghadapi persaingan global. "Bukan cuma karena mereka mau nonton film indonesia, tapi karena kemudian akhirnya kita jadi punya banyak tanggung jawab, kayak keberagaman genre deh.Â
Kayak habis itu karena horor semua, juga nggak jadi enak, marketnya akan ada dititik bosan kan....atau misalnya ketika ada era film indonesia berubah jadi esek-esek. Akhirnya kan berarti pembuatnya tidak punya tanggung jawab moral. Ketika tanggung jawab moral ini harus, dibarengin bersama industri yang tumbuh.Â
Jadi aku rasa semuanya jadi harus saling timbal-balik. Jadi ketika habis itu ada marketnya. Ada pembuat film yang juga kemudian, kayak saya.
Saya harus makin lama makin belajar kan....oke....nih, apalagi yang mau kita sajikan berikutnya. Ini marketnya, kemudian saya berharap bahwa kepercayaan terhadap industri film di indonesia masih tetap dipegang, ditengah, ada banyak film-film lainnya.Â
Seperti film Hollywood tadi, atau dari tempat lain".
Sebagai seorang anak kecil, Lele diberi kebebasan memilih buku oleh orangtuanya. Orangtuanya bahkan cenderung membolehkan Lele membeli buku, dibanding membeli mainan. "Sebenarnya aku tuh tumbuh dari keluarga yang cukup skeptis, pada dunia industri film ini.Â
Nggak ada satupun dikeluarga saya, itu yang penulis, seniman, atau pembuat film. Jadi orang tua tidak terbiasa ketika, saya punya cita-cita jadi penulis skenario, padahal kemudian cita-cita itu, tumbuh dari sebuah pengalaman masa kecil, yang tiap minggu di ajak, ke toko buku, dan disuruh milih, jadi saya mainan dibatasin.
Tapi beli buku, boleh berapa aja.Â
Jadi kaya...cita-cita itu tumbuh dari orang tua, yang mengijinkan beli buku, itu berapa aja. Dan kemudian kayak tumbuh juga dari, masa kecil yang saya inget itu. Saya teringat masa kecil saya pergi bersama orangtua, ketoko buku Gramedia untuk kemudian beli buku. Buku apa itu. Buku...Lima Sekawan, dan itu tuh... yang kemudian menumbuhkan imajinasi, terus kemudian menumbuhkan keinginan bercerita, dimulai dari kegiatan membaca, yang habis itu diajarin sama orang tua dari kecil.
Kenapa sekarang jadi horor, beda cerita itu, nggak ada pengalaman horor, jaman kecil. Menurut saya pengalaman kecil saya yang saya inget adalah diajak umi sama abi ke toko buku sih....jadi pengalaman literasi, kalau waktu itu nggak diajak, mungkin sekarang agak berjarak. Pengalaman literasi itu, membuat si anak kecil ini mengingat, cerita itu menjadi hidup", pungkas Lele menyudahi pembicaraan kami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI