Film merupakan medium yang memuat beragam aspek seni, diantaranya (seni sastra,seni visual,seni musik).Melalui film kita diajak menelusuri belantara kehidupan.Mulai dari; peristiwa bersejarah, moment yang mengharukan, imajinasi yang indah, sampai tragedi yang memilukan. Untuk merangkum serta menjelaskan film ke dalam lingkup jenis tertentu, maka dibuatlah genre. Salah satu genre yang sudah ada sejak lama adalah genre horor. Beberapa waktu silam saya berbincang dengan Mbak Lele, seorang penulis naskah film indonesia, yang membuat film KKN Desa Penari dan film Danur.
Film tidak dipilih penonton sebagai sarana hiburan saja. "Kalau misalnya perlu atau harus menonton, saya rasa bisa dijawab sendiri oleh marketnya sendiri, karena film adalah suatu hiburan, tidak semua orang memilih film sebagai hiburanya. Tapi disatu sisi film bukan sebagai suatu yang hidup, saja. Tapi ada juga nilai-nilai yang mungkin bisa didapatkan ketika nonton filmnya".
Ada banyak sekali film Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keindonesiaan. Â "Nilai-nilainya keindonesiaan ini, ketika kita tanya apakah film indonesia masih menjunjung nilai-nilai keindonesiaan, menurut saya ada banyak banget nilai-nilai keindonesiaan yang beragam dan banyak sekali didunia digital macam sekarang, apalagi sekarang ada OTT.Â
Habis itu ada hal-hal yang bisa dipelajari, oke habis itu kita nonton, misalkan film; KKN Di Desa Penari gitu kan...apa yang kemudian bisa dipelajari dari KKN oleh masyarakatnya, hiburan macam apa yang kemudian bisa dipelajari masyarakat", terang Lele.
Menurut Lele sebagai filmmaker, film bisa memperkaya pengetahuan kita. "Itu yang masih ditawarkan oleh filmmaker indonesia, jadi diluar itu menceritakan hal-hal hiburan semata, tapi ada hal-hal yang makin kaya nih, ketika memperkaya. Kita terhibur, tapi kita memperkaya informasi, jadi kayak kita bukan kata-kata perlu. Karena kata-kata perlu 'kan, akan dijawab sendiri oleh market".
Pengalaman batin-experience, serta statement dari sutradara merupakan hal yang bisa didapatkan ketika kita menonton sebuah film. "Perlu atau tidaknya dia menonton film, tapi kalau kita sebagai filmmaker, menjawab film ini perlu ditonton, atau film ini lebih baik ditonton oleh banyak orang karena, kita merasa sebagai kreator ada statement yang mau kita sampaikan.Â
Ada sesuatu yang kita sampaikan, pada akhirnya. Ketika ada movie experience itu di bioskop, kita berharap penonton diluar sana, juga mendapatkan hal yang awalnya kita nggak tahu, tapi kemudian jadi tahu. Atau kita sudah pernah tahu, tapi kita mengalami experience baru, ketika kita sedang menonton film tersebut", jelas wanita berkacamata ini.
Industri film dewasa ini, menjadi sebuah dunia baru yang kian membesar. "Kenapa mesti tumbuh cukup pesat, karena pada dasarnya nonton film ini menjadi kegiatan yang dulu mungkin, kayak sekarang kita nggak bisa lepasin itu dari pegerakan industri, jadi ini bukan cuma soal si produk film.Â
Tapi industrinya kemudian jadi lebih besar, jadi OTT sekarang bikin industri jadi ada tempat, diluar orang-orang asing. Terus habis itu, orang-orang yang nggak terjangkau bioskop tadinya, terus kemudian bisa menikmati sebuah film gitu. Pertama ketika itu bioskop tadinya nggak banyak gitu, sekarang bioskop jadi lebih banyak gitu kan....".
Dengan adanya infrastruktur perfilman yang kian mapan, jumlah penonton yang kian meroket,maka tanggung jawab yang diembanpun makin besar."Sekarang tempat nonton makin banyak lagi, ketika industrinya makin besar. Kita berharapnya ekosistemnya makin besar, kita berharap juga filmnya makin banyak ditonton.Â
Makin banyak juga marketnya, sekarang kita cukup bahagia dengan pendapatan penonton, kayak film kemarin 'Diambang Kematian' 2,8 juta. Terus habis itu film 'Airmata Diujung Sajadah' 3 juta. Tapi kemudian jumlah-jumlah tersebut tidak saja membuat kita bahagia, tapi juga membuat kita pastinya lebih punya banyak tanggung jawab.Â
Habis ini kita mau menyajikan apalagi untuk marketnya kan...kita berharap market kemudian berbondong-bondong ke bioskop, atau kemudian marketnya terus berbondong-bondong nonton film indonesia", ucap Lela lagi.
Keberagaman genre yang muncul dipasaran juga akan memacu pertumbuhan film indonesia, ke arah lebih baik.Â
Pun dengan situasi ini, filmaker serta segenap insan perfilman, juga harus berbenah untuk lebih siap menghadapi persaingan global. "Bukan cuma karena mereka mau nonton film indonesia, tapi karena kemudian akhirnya kita jadi punya banyak tanggung jawab, kayak keberagaman genre deh.Â
Kayak habis itu karena horor semua, juga nggak jadi enak, marketnya akan ada dititik bosan kan....atau misalnya ketika ada era film indonesia berubah jadi esek-esek. Akhirnya kan berarti pembuatnya tidak punya tanggung jawab moral. Ketika tanggung jawab moral ini harus, dibarengin bersama industri yang tumbuh.Â
Jadi aku rasa semuanya jadi harus saling timbal-balik. Jadi ketika habis itu ada marketnya. Ada pembuat film yang juga kemudian, kayak saya.
Saya harus makin lama makin belajar kan....oke....nih, apalagi yang mau kita sajikan berikutnya. Ini marketnya, kemudian saya berharap bahwa kepercayaan terhadap industri film di indonesia masih tetap dipegang, ditengah, ada banyak film-film lainnya.Â
Seperti film Hollywood tadi, atau dari tempat lain".
Sebagai seorang anak kecil, Lele diberi kebebasan memilih buku oleh orangtuanya. Orangtuanya bahkan cenderung membolehkan Lele membeli buku, dibanding membeli mainan. "Sebenarnya aku tuh tumbuh dari keluarga yang cukup skeptis, pada dunia industri film ini.Â
Nggak ada satupun dikeluarga saya, itu yang penulis, seniman, atau pembuat film. Jadi orang tua tidak terbiasa ketika, saya punya cita-cita jadi penulis skenario, padahal kemudian cita-cita itu, tumbuh dari sebuah pengalaman masa kecil, yang tiap minggu di ajak, ke toko buku, dan disuruh milih, jadi saya mainan dibatasin.
Tapi beli buku, boleh berapa aja.Â
Jadi kaya...cita-cita itu tumbuh dari orang tua, yang mengijinkan beli buku, itu berapa aja. Dan kemudian kayak tumbuh juga dari, masa kecil yang saya inget itu. Saya teringat masa kecil saya pergi bersama orangtua, ketoko buku Gramedia untuk kemudian beli buku. Buku apa itu. Buku...Lima Sekawan, dan itu tuh... yang kemudian menumbuhkan imajinasi, terus kemudian menumbuhkan keinginan bercerita, dimulai dari kegiatan membaca, yang habis itu diajarin sama orang tua dari kecil.
Kenapa sekarang jadi horor, beda cerita itu, nggak ada pengalaman horor, jaman kecil. Menurut saya pengalaman kecil saya yang saya inget adalah diajak umi sama abi ke toko buku sih....jadi pengalaman literasi, kalau waktu itu nggak diajak, mungkin sekarang agak berjarak. Pengalaman literasi itu, membuat si anak kecil ini mengingat, cerita itu menjadi hidup", pungkas Lele menyudahi pembicaraan kami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI