"pak, kapan dapur mau dibangun?" Tanya Farah pada Fahmi di suatu sore.
"Rumah kita ini udah layak huni, mau bangun apa lagi memangnya? Ini sudah lebih dari cukup"
"Huh! Cukup? Gimana bisa bapak bilang cukup?!" Gerutu istrinya. "Biaya pembangunan bulan lalu saja belum lunas, ini sudah cukup. Kurang apa memangnya? Kredit kulkas dan segala macam perabotan kamu juga memangnya sudah lunas?" Ujar Fahmi dengan nada yang lembut. Farah memang tipikal wanita yang tidak pernah puas. Contohnya soal kulkas, keluarga tersebut sudah mempunyai kulkas dan ia melihat kulkas 2 pintu yang lebih besar dari miliknya di rumah. Akhirnya di hatinya akhirnya dibelinya kulkas tersebut secara kredit tanpa menunggu persetujuan suami. Sama halnya dengan perlengkapan yang lain.
Mungkin, akan bagus jika suaminya adalah seorang bangsawan yang tidak pernah kekurangan uang. Namun, ia bukanlah pria seperti itu titik perlu kerja keras agar uang didapatkannya. Seringkali ia meminta bantuan pada Fahri, adiknya. Meminjam uang, dan meminta bantuan lainnya. Jika dihitung, sudah berpuluh-puluh juta hutang pada adiknya itu. Namun, sang adik tak pernah menghitungnya sebagai hutang.
" pak, minta uang." Pinta Lia, anak kedua Fahmi.
 " Berapa? "
 " 100.000 "
 " banyak sekali, buat apa? "
" Buat beli gelang couple sama temenku. "
" buat apa beli seperti itu? " Fahmi tak menggubris permintaan anaknya. Menurutnya itu tidak terlalu penting untuk dibeli. " Baru juga anak minta segitu!" Ujar istrinya tiba-tiba, "apa kalau apa salahnya kabulkan permintaan anaknya toh, dia nggak minta yang macam-macam!" Imbuhnya. "Tapi, itu nggak penting buat dibeli," sanggah Fahmi. "Kamu nggak akan berdosa kalau mengabulkannya dia cuma minta uang buat beli dengan temannya, letak salahnya di mana!"
 Mulut Fahmi membungkam, ia tidak tahu bagaimana lagi caranya membuat semuanya mengerti.  Farah mengambil uang dari dompet suaminya yang memberikannya pada putrinya.