Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Kompas dan Penulis yang Bahagia

Pecinta Kompas, penulis bebas yang bahagia. IG: @belfinpaians FB: belfin paian siahaan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Posisi Kepemimpinan Didominasi Perempuan

28 Februari 2021   14:38 Diperbarui: 28 Februari 2021   14:50 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama 15 tahun bekerja di tempat kerja saya, baru kali ini saya benar-benar 'ngeh' dan sadar ketika saya melangkah mundur dan berdiam diri dari tempat saya, menatap orang-orang yang hadir di tempat pertemuan ini, hampir 95 persen adalah perempuan. Hanya saya dan seorang teman saya dari unit lain yang berada di tengah kepungan para ibu-ibu ini. Luar biasa. 

Saya katakan luar biasa karena emansipasi itu ternyata benar-benar terjadi. Ibu-ibu yang berada bersama saya di ruangan ini adalah para wanita karier yang berhasil meretas dari ranah domestik ke ranah publik. Mereka adalah pemimpin dan pengambil keputusan di unit masing-masing.

Pertanyaan yang muncul di benak saya waktu itu adalah: di manakah para bapak atau laki-laki yang katanya lebih dominan di ranah publik itu? Yang katanya lebih cepat dan lebih dominan dalam membuat keputusan? Ternyata hal itu tidak terbukti di tempat saya bekerja. Justru sebaliknya, di perusahaan ini, setelah saya ulik lagi, hampir semua posisi penting dan pemegang jabatan berada di tangan perempuan. 

Mulai dari direktur, wakil direktur, kepala keuangan, manager, kepala HRD, hingga kepala bagian dari masing-masing unit. Semuanya perempuan. Sementara saya dan teman saya, hanya sisa-sisa dari kejayaan patriarki yang katanya dominan dan berkuasa di masa lalu.

Terlepas dari pemikiran modern sekarang yang sudah terbuka untuk segala perspektif, agaknya saya masih takjub dengan para wanita di tempat ini. Yang menjadi ciri khas gaya kepemimpinan mereka adalah kejelian dan ketelitian mereka dalam bekerja. Mereka sangat detail, konsisten, rajin, cerdas dan workaholic. Kadang saya tidak habis pikir, mengapa ide dan opini mereka bisa sedetail itu?

Saya mencoba membandingkannya dengan orang tua dan istri saya sendiri. Kecenderungan yang terjadi adalah: para ibu akan sangat detail dalam melakukan sesuatu. Mungkin bagi kami para laki-laki, hal itu terlihat ribet dan tidak praktis. Begini contohnya: Kalau keluar rumah, ibu saya selalu membawa tas yang ukurannya agak besar. Tas tenteng atau tas yang dapat disampirkan di pundak. Saya kadang berpikir, untuk apa membawa tas itu kalau hanya sekadar keluar sebentar saja. Cukup dompet dan HP saja. Namun, bagi mereka ternyata berbeda.

Suatu waktu, saya butuh peniti karena kancing baju copot. Karena panik, saya tidak tahu harus mendapatkannya di mana karena waktu itu kami sudah dalam perjalanan. Yang terjadi sungguh mencengangkan. Tas itu ajaib. Apapun selalu ada, layaknya toko serba ada. Usut punya usut, kebiasaan orang tua yang suka menyimpan barang-barang sekecil apapun, ternyata ada ceritanya. Mereka beranggapan bahwa suatu saat akan dibutuhkan sehingga disimpan di dalam tas. Daya ingat mereka pun sangat kuat.

Hal itulah yang sering terjadi. Butuh tisu, di tasnya ada. Butuh uang receh, di tasnya selalu ada. Butuh foto kopi KTP, di tasnya selalu ada. Saking lengkapnya, benda-benda semisal sisir, kantong plastik, gunting kecil, peniti, bahkan kaos cadangan dan barang-barang kecil lainnya pun ada. Itulah kehebatan orang tua atau para istri yang sangat perhatian dan detail kepada keluarganya.

Nah, hal sama terjadi dalam dunia kerja saya. Ibu-ibu ini melihat segala hal dengan sangat detail. Kadang-kadang tak terpikirkan oleh saya. Tapi, dampaknya selalu ada. Saking detailnya mereka bekerja, kadang-kadang mereka lupa waktu. 

Kadang juga pembicaraan menjadi ngalor ngidul alias melenceng ke mana-mana. Tapi bukan ibu-ibu namanya kalau tidak bisa mengaitkan banyak hal. Mungkin karena mereka terbiasa terlibat dalam banyak hal sehingga menjadi kebiasaan mereka untuk melihat segala sesuatu dari segala kemungkinan, termasuk dalam hal perencanaan keuangan.

Salah satu kata kunci kehebatan mereka di sini yang dapat saya simpulkan adalah: multitasking. Mereka dapat mengerjakan banyak hal di saat yang bersamaan. Tapi benarkah multitasking hanya dimiliki oleh para wanita? Ataukah itu karena kebiasaan mereka bekerja sebagai ibu rumah tangga yang notabene harus mengurus anak, suami, dan rumah tangga? Entahlah. Konon katanya begitu.

Hal lain yang juga membuat bertanya-tanya adalah: mengapa di tempat ini, mayoritas pemimpinnya adalah perempuan? Apa penyebabnya? Apakah ini kebetulan saja atau memang disengaja? Usut punya usut, ternyata ini murni kebetulan. Hal ini terjadi karena memang kinerja perempuan di sini lebih unggul daripada pria. Indikatornya dapat dilihat dari prestasi kerja dan komitmen mereka. Alhasil, berkumpullah para wanita karier yang multitasking dan berprestasi.

Berbicara mengenai pemimpin perempuan, saya jadi teringat dengan dua tokoh politisi yang baru-baru ini tren dibicarakan warganet. Mereka adalah Kamala Haris, wakil presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, dan Anne Aly, anggota parlemen dari Australia. Menariknya lagi, ada satu pernyataan Kamala Haris dalam pidatonya. Ia mengatakan, "Saat ini, saya menjadi perempuan pertama di kantor ini, tetapi bukan yang terakhir." Pernyataan itu mengindikasikan sebuah harapan dan peluang agar para perempuan mendapatkan bagian penting dalam dunia politik.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk terlibat dalam ranah publik, termasuk di bidang politik atau bidang lainnya. Secara yuridis pun, tidak ada konstitusi yang melarang perempuan untuk menjadi pemimpin seperti kepala daerah, kepala negara, anggota dewan. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Namun, pada kenyataannya, budaya politik (termasuk dalam dunia kerja) sudah terlanjur terbentuk dari kultur yang maskulin, yang membelenggu perempuan.

Sama halnya dengan Kamala Haris dan Anne Aly serta para pemimpin perempuan di tempat saya bekerja, ada satu pertanyaan besar yang membuat saya penasaran yaitu bagaimana mereka keluar dari sistem dan kultur patriarkhis ini sehingga mereka bisa bersinar di ranah publik, memiliki karier yang cemerlang, tapi juga menjadi ibu rumah tangga yang baik? Bagaimana mereka menyeimbangkannya?

Menurut saya, mereka adalah perempuan cerdas dan hebat, yang mungkin saja telah menimbang dan mengatasi persoalan domestik, khususnya mengenai urusan anak, suami, dan rumah tangga sehingga tak begitu mengganggu urusan pekerjaan. Kalau saya cermati satu per satu, ada beberapa asumsi yang membuat hal ini dapat terjadi. 

Pertama, dukungan suami yang tidak mempersoalkan pekerjaan mereka yang akan banyak menyita waktu di luar rumah. Kedua, anak-anak mereka yang sudah besar dan mandiri. Ketiga, komitmen tinggi untuk membagi waktu yang seimbang antara pekerjaan dan urusan rumah tangga. Keempat, komitmen untuk tak menikah dulu. Untuk yang keempat ini, ada beberapa kolega perempuan yang memang memfokuskan diri untuk bekerja dan belum menikah.

Asumsi ini hanyalah asumsi saya pribadi karena sampai sejauh ini belum ada narasi utuh dan kisah-kisah sukses mereka yang diceritakan. Bisa jadi, semua kisah itu dirasa tidak perlu karena bukan sesuatu yang heroik. Sudah tugas mereka menjadi ibu dan mengatasi persoalan mereka sendiri-sendiri. Akan tetapi, menurut saya, kisah itu perlu dinarasikan supaya tidak ada lagi kultur yang dominan, sebab perempuan juga memiliki hak yang sama.

Terlepas dari itu semua, meski pemimpin di tempat kerja saya mayoritas perempuan, bukan berarti sentuhan feminin mereka serta merta mengubah dunia kerja menjadi lebih feminin. Justru sebaliknya, karena mereka workaholic, suasana kerja jauh lebih keras dan detail. Hal sekecil apapun bisa dibahas ramai dan harus tuntas. 

Akibatnya, jam kerja terasa panjang. Kecerewetan mereka masih samalah dengan ibu dan istri saya. Kalau sudah begitu, saya memilih diam saja. Mereka memang ada benarnya. Menurut Anda bagaimana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun