Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Pendidik, Penulis, dan Penggerak Literasi

Guru, penulis dan penggerak literasi yang percaya menulis adalah jejak sejarah diri sekaligus warisan nilai bagi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak yang Tak Punya Teman: Wajah Sunyi di Balik Senyum Sekolah

16 Oktober 2025   15:06 Diperbarui: 16 Oktober 2025   15:06 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senyum di sekolah tak selalu berarti bahagia  kadang menutupi kesepian.  Sumber: Dokpri - Gen AI

'Ia tersenyum, tapi matanya seperti menyimpan sesuatu.'
Kalimat itu masih terngiang di kepala saya, bahkan setelah bel pulang berbunyi.

Namanya tak perlu disebut. Seorang anak kelas 7, duduk di bangku tengah dekat jendela. Ia bercerita sambil menggoyang kaki pelan, seolah tak ingin terlihat serius.

"Aku nggak punya teman, Bu," katanya sambil tertawa kecil.
"Soalnya Mama nggak bolehin main gang-gangan. Harus keluar dari gang."

Ia tertawa, tapi matanya meredup sesaat. Tawa yang terdengar ringan, tapi meninggalkan jejak berat di dada saya.

Gang-Gangan dan Arti Sebuah Tempat di Dunia

Bagi anak-anak seusianya, "gang-gangan" bukan sekadar kelompok bermain. 
Itu simbol kecil dari identitas sosial bagian dari cara anak mengenal dunia dan dirinya sendiri.

Menjadi bagian dari "gang" berarti punya tempat di dunia kecil bernama sekolah. Ada ruang berbagi rahasia, bercanda, atau sekadar tertawa tanpa alasan. Namun bagi anak ini, larangan dari rumah membuatnya terpisah. Ia harus hidup di antara dua dunia: dunia rumah yang penuh aturan, dan dunia sekolah yang menuntut kebersamaan.

Bagi sebagian orang tua, larangan seperti itu tampak sederhana. Tapi bagi seorang anak yang sedang belajar menemukan diri, kehilangan tempat di antara teman bisa berarti kehilangan arah.

Remaja Kesepian Meningkat Pasca-Pandemi

Sebuah penelitian terhadap 125 remaja di Jakarta menggunakan UCLA Loneliness Scale menunjukkan 65,6% remaja berada dalam tingkat kesepian kategori sedang (Journal Tarumanagara - Jurnal Sains Sosial dan Humaniora, 2023).

Angka itu memperlihatkan bahwa kesepian bukan sekadar perasaan sesaat. Ia sudah menjadi fenomena sosial yang nyata terutama pasca-pandemi, ketika interaksi digital sering menggantikan keintiman tatap muka. Senyum anak itu mungkin hanyalah cara halus untuk menutupi sunyi. Dan di ruang-ruang kelas, ada banyak anak lain yang mungkin sedang tersenyum seperti itu.

Saat Anak Curhat: Tugas Guru Bukan Menasihati, Tapi Mendengarkan

Ketika seorang murid datang dengan cerita seperti itu, naluri kita sering ingin langsung menenangkan.

"Sudah, nanti Ibu bantu, ya."
"Main saja sama yang lain, jangan sedih."

Namun, anak tidak selalu membutuhkan solusi cepat. Kadang, mereka hanya ingin didengarkan tanpa digurui, tanpa dihakimi.

Sebagai guru, saya belajar menahan diri. Alih-alih menjawab cepat, saya memilih duduk sejajar, menatap matanya, dan berkata pelan:

"Pasti rasanya nggak enak, ya, waktu teman-teman mulai menjauh?"

Ia mengangguk. Tak ada air mata, hanya senyum kecil yang mulai retak. Itulah momen penting dalam ruang kelas ketika anak merasa dilihat, bukan dinilai. Ketika guru berhenti memberi ceramah, dan mulai memberi ruang untuk merasa.

Empat Sikap Dasar Guru Saat Anak Curhat

  1. Tahan diri untuk tidak menilai.
    Hindari kalimat seperti "Kamu pasti bisa cari teman baru." Terlihat positif, tapi bisa membuat anak merasa diremehkan.
  2. Validasi perasaannya.
    Ucapkan hal sederhana: "Wajar kalau kamu sedih." Kalimat seperti ini mengakui rasa, bukan mengabaikannya.
  3. Bangun empati dua arah.
    Tanyakan: "Menurut kamu, apa yang bisa kita lakukan supaya kamu tetap punya teman tanpa melanggar aturan Mama?"
  4. Akhiri dengan janji realistis.
    Misalnya, "Ibu bantu, tapi pelan-pelan, ya." Ini menjaga harapan tetap hidup, tanpa menciptakan janji kosong.

Respons kecil seperti ini membuat anak merasa aman. Di usia remaja awal, rasa aman adalah kunci untuk bertumbuh.

Ketika Proteksi Berubah Jadi Isolasi

Kekhawatiran orang tua itu wajar. Dunia sekarang terasa makin tidak aman: konten digital yang sulit dikontrol, pergaulan yang cepat berubah, dan kasus bullying yang kerap menghantui. Tak sedikit orang tua lalu memilih jalan cepat: membatasi, melarang, atau mengisolasi.

Namun, tanpa disadari, proteksi yang berlebihan bisa berubah menjadi isolasi. Anak-anak belajar empati dari bermain.
Mereka belajar kompromi saat berebut bola, belajar toleransi ketika menunggu giliran, dan belajar komunikasi saat berbeda pendapat.
Ketika semua itu hilang, mereka kehilangan kesempatan memahami dinamika sosial dan perlahan kehilangan rasa percaya diri.

Sebuah studi The Lancet Child & Adolescent Health (2022) bahkan menemukan bahwa anak yang jarang berinteraksi sosial berisiko dua kali lipat mengalami social withdrawal syndrome di usia remaja. Artinya, semakin anak dijauhkan dari lingkungan sosial, semakin besar kemungkinan mereka menutup diri.

Peran Guru: Mendekat, Bukan Menghakimi

Guru tidak selalu bisa mengubah aturan orang tua, tapi bisa menjadi jembatan empati. Caranya bukan dengan memihak anak di depan orang tua, melainkan menciptakan ruang aman di sekolah agar anak tetap merasa diterima. Beberapa langkah kecil yang bisa dilakukan guru antara lain:

  • Rotasi kelompok kerja secara terencana, agar anak berinteraksi dengan teman baru tanpa merasa dipaksa.
  • Sesi reflektif sederhana, seperti "hari ini siapa teman baikmu?" untuk melatih empati sosial.
  • Komunikasi positif dengan orang tua, bukan dengan nada menyalahkan, melainkan kolaboratif.
    Misalnya bukan berkata "anak Ibu kesepian," tapi "kita bisa bantu anak Ibu berkembang lewat interaksi sosial yang aman."

Saya sendiri pernah mencoba langkah kecil itu. Saya memasangkan anak tersebut dengan teman yang sabar dan suka menulis. Minggu pertama, mereka masih canggung. Minggu kedua, mereka mulai bercanda. Minggu ketiga, saya melihat sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya: tawa yang sungguh-sungguh.

Refleksi untuk Kita, Para Dewasa

Kita sering mengira "melindungi" berarti menjauhkan anak dari dunia luar. Padahal, tanpa ruang sosial, anak kehilangan kesempatan memahami perbedaan, mengelola emosi, dan membentuk empati. Data menunjukkan lebih dari separuh remaja Jakarta merasa kesepian. Itu artinya ada begitu banyak anak yang sedang berjuang dalam sunyi bahkan di sekolah yang ramai.

Anak itu tidak butuh banyak teman. Ia hanya butuh satu saja yang mau duduk di sebelahnya tanpa menghakimi. Mungkin, sebelum semua itu dimulai, ia hanya butuh izin dari orang tuanya untuk boleh punya teman.

Izin untuk Tumbuh

Tidak ada panduan pasti untuk menjadi orang tua atau guru yang sempurna. Namun, kasih sayang sejati kadang sesederhana memberi anak kesempatan untuk belajar dari lingkungannya sambil tetap kita pandu dengan kepercayaan, bukan ketakutan.

Sebab tak semua tawa di sekolah lahir dari kebahagiaan. Kadang, itu cara paling halus untuk menutupi sunyi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun