Sebelum membawa masalah ke ranah hukum atau media sosial, orangtua sebaiknya berkomunikasi dulu dengan pihak sekolah. Tanyakan kronologi, dengarkan dua sisi, dan ikut menjadi bagian dari solusi, bukan bara konflik.
Sekolah harus membuka diri sebagai ruang diskusi bersama, bukan benteng yang defensif. Guru, murid, dan orangtua semestinya duduk satu meja mencari akar masalah, bukan saling menyalahkan. Dengan begitu, disiplin tidak lahir dari ketakutan, tapi dari rasa saling percaya.
Menegakkan Disiplin Tanpa Kekerasan
Bisakah sekolah menegakkan disiplin tanpa kekerasan? Bisa asal mau berubah. Bukan perubahan yang tiba-tiba, tapi perlahan, dimulai dari cara kita berbicara dan mendengarkan.
Banyak guru kini belajar menahan nada suara, memilih kata dengan hati-hati. Bukan karena takut viral, tapi karena sadar setiap kata bisa membekas lama di hati anak. Mereka mulai mengganti marah dengan dialog, mengganti hukuman dengan tanggung jawab. Namun, tidak mudah. Di tengah tekanan administratif dan tumpukan tugas, guru juga manusia yang bisa lelah dan tersulut emosi.
Orangtua pun tak kalah bingung. Mereka ingin anaknya dihargai, tapi juga ingin mereka belajar disiplin. Mereka marah saat anak ditegur, namun cemas saat anak tak tahu sopan santun. Kita semua, tanpa sadar, sedang mencari titik temu antara kasih sayang dan ketegasan.
Barangkali, inilah saatnya sekolah menjadi ruang saling memahami, bukan saling menuding.
Guru belajar mendengar tanpa menghakimi.
Orangtua belajar percaya bahwa setiap teguran bukan untuk menjatuhkan, melainkan membimbing.
Murid belajar bahwa kebebasan selalu datang bersama tanggung jawab.
Disiplin sejatinya bukan tentang siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang peduli. Empati bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk tertinggi dari ketegasan yang manusiawi.
Pada akhirnya, pendidikan bukan soal siapa yang benar atau salah, tetapi siapa yang mau terus belajar menjadi lebih baik guru, murid, maupun orangtua.
Sekolah yang Memanusiakan
Sekolah seharusnya menjadi tempat tumbuh, bukan ruang saling tuding. Guru juga manusia yang sedang belajar memahami generasi baru seperti murid yang sedang belajar memahami dunia.
Kasus Cimarga menjadi pengingat penting bahwa kita butuh batas yang jelas antara teguran dan kekerasan, antara wibawa dan arogansi, antara mendidik dan melukai.
Disiplin tak selalu berarti keras. Empati tak selalu berarti lemah. Karena sejatinya, pendidikan bukan soal siapa yang salah tetapi siapa yang mau belajar menjadi lebih baik.