Ia harus menghadapi pandangan miring dari sebagian orang. Ada yang meragukan kemampuannya membesarkan anak seorang diri. Lebih menyakitkan lagi, muncul gosip atau kecurigaan yang tak perlu.
Sebagai perempuan, ia dituntut menjaga diri lebih ketat. Sikap, pergaulan, bahkan penampilan harus selalu dijaga agar tidak menimbulkan salah tafsir. Tekanan ini menambah beban mental yang tidak dialami semua orang.
Di sinilah terlihat bahwa masyarakat masih perlu belajar memberi ruang aman bagi para orangtua tunggal. Nilai edukasi yang bisa dipetik, terutama bagi kita semua, adalah pentingnya empati dan dukungan sosial.
Anak-anak dari keluarga orangtua tunggal berhak tumbuh dengan percaya diri, bukan dibayangi stigma.
Dukungan moral, kesempatan pendidikan, hingga lingkungan yang sehat jauh lebih berarti dibandingkan penilaian negatif.
Dalam konteks pendidikan humaniora, pengalaman ini mengajarkan bahwa menjadi orangtua tunggal bukan sekadar peran pribadi, tetapi juga isu sosial.
Di balik beban ganda yang mereka pikul, ada pelajaran tentang resilien, tentang bagaimana cinta dan iman mampu menopang kehidupan.
Tuhan Tidak Pernah Meninggalkan
Di tengah keterbatasan, Tuhan menjadi satu-satunya sandaran. Saya sering mendengar kakakku berdoa dengan air mata. Ia percaya, meski jalannya tidak mudah, selalu ada penyertaan.
Firman Tuhan berkata:
"Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti." (Mazmur 46:2).
Ayat ini bukan sekadar bacaan, melainkan nyata dalam hidupnya. Ketika manusia merasa tidak sanggup, Tuhan hadir memberi kekuatan.
Potret Orangtua Tunggal di Indonesia
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah keluarga dengan orangtua tunggal di Indonesia terus meningkat.