Pernahkah Anda membayangkan suasana pagi 17 Agustus di sekolah? Lapangan dipenuhi siswa berseragam merah putih, bendera siap dikibarkan, paduan suara menyanyikan "Indonesia Raya" dengan lantang. Semua tampak meriah. Tetapi, bagaimana jika di balik gegap gempita itu, ruang guru justru hening, dingin, tanpa percakapan bermakna?
Apakah masih layak kita rayakan kemerdekaan, bila guru sendiri tak lagi merdeka untuk bersuara?
(Tulisan ini merupakan hasil refleksi pengalaman pribadi saya. Ide ini muncul saat mendampingi anak-anak mengikuti lomba 17 Agustus di sekolah. Di tengah keriuhan tawa mereka, saya justru menangkap keheningan yang ganjil di ruang guru. Dari situlah pertanyaan-pertanyaan ini bermula.)
Kemerdekaan yang Setengah Hati
Hari kemerdekaan seharusnya menjadi momentum kebersamaan. Gotong royong dan musyawarah mestinya hadir di setiap lini, termasuk di sekolah. Namun, dalam pengalaman saya, suasananya sering berbeda.
Sering kali persiapan acara berlangsung mendadak. Tiba-tiba ada lomba, tiba-tiba ada agenda, tanpa sempat ada diskusi bersama guru. Akibatnya, banyak ide kreatif yang sebetulnya bisa muncul justru tak tersampaikan. Kebersamaan yang mestinya terbangun lewat musyawarah, pelan-pelan memudar.
Kemerdekaan yang seharusnya dirasakan semua pihak, terasa hanya setengah hati ketika ruang untuk menyumbang gagasan semakin sempit.
Cerita dari Ruang Guru
Masih ingatkah Anda suasana ruang guru beberapa tahun lalu? Obrolan hangat sambil menyeruput kopi, ide-ide spontan yang melahirkan kegiatan kreatif, dan perasaan memiliki peran nyata.
Sekarang, ruang itu lebih mirip ruang tunggu. Guru masuk, duduk sebentar, lalu pergi tanpa banyak bicara. Kebersamaan memudar bukan hanya karena lelah, tetapi karena suara guru tak lagi dianggap penting.
Semangat sulit tumbuh jika ruang untuk berbicara pun terasa sempit.
Guru Merdeka di Kelas, Terbelenggu di Sekolah
Aneh rasanya. Di kelas, guru begitu bebas berkreasi. Mereka bisa memilih metode, menyesuaikan cara mengajar dengan kebutuhan siswa. Tapi begitu keluar kelas, kebebasan itu hilang.
Guru merdeka mendidik, tetapi terbelenggu dalam kebijakan sekolah. Padahal, guru yang paling tahu kondisi siswa dan kebutuhan lapangan. Jika suara guru dibungkam, praktik kemerdekaan di sekolah hanya menjadi formalitas belaka.
Wellbeing Guru: Merdeka atau Tidak?
Apa arti teacher wellbeing bagi seorang guru? Bukan hanya soal gaji, beban kerja, atau fasilitas, tetapi juga soal rasa dihargai dan dilibatkan. Tiga hal menjadi kuncinya:
- Voice - apakah guru punya ruang bicara?
- Choice - apakah guru diberi kesempatan memilih dan menentukan arah?
- Respect - apakah usul guru benar-benar dihargai, atau sekadar formalitas?
Tanpa tiga hal ini, guru sulit merasa merdeka. Beberapa kajian pendidikan menegaskan, ketika guru dilibatkan dalam pengambilan keputusan, semangat mereka meningkat dan kualitas belajar siswa ikut terangkat. Jika itu sudah jelas, mengapa ruang partisipasi masih terasa terbatas?
Refleksi di Hari Kemerdekaan
Setiap tahun, kita angkat bendera dengan penuh kebanggaan. Kita gelar upacara, lomba, dan pesta rakyat. Namun, semua itu belum cukup untuk membuktikan kita bangsa yang benar-benar merdeka.
Bagaimana menanamkan nilai demokrasi dan kebebasan pada siswa, jika guru, pilar pendidikan sendiri masih terikat diam? Kemerdekaan bukan sekadar seremoni tahunan.
Harapan untuk Kemerdekaan yang Sejati
Hal yang bisa dilakukan sederhana: mulai dari forum diskusi rutin antara guru dan pimpinan, memberi apresiasi pada setiap usul, membangun kepemimpinan partisipatif, bukan sekadar agenda mendadak.
Memberi ruang bukan beban, tetapi langkah menumbuhkan semangat guru. Semangat guru adalah semangat murid juga.