“Memangnya Embahmu bisa membuat tanah?” yang menuai kritik keras dari sebagian masyarakat Indonesia (CNN Indonesia, 7 Agustus 2025).
Kalimat semacam ini bukan hanya tak etis, tetapi juga mencederai akal sehat masyarakat. Sebab, ketika seorang pejabat berbicara tanpa kendali, publik bukan hanya merasa tersinggung—mereka merasa disepelekan.
Lisan para pejabat kekinian seolah tidak lagi dijaga. Kata-kata arogan kerap keluar tanpa empati dan pertimbangan. Mereka lupa bahwa rakyatlah yang menjadikan mereka pejabat. Tidak heran jika kini, suara rakyat yang selama ini diabaikan justru menggaung lebih keras ke seluruh penjuru negeri.
“Vox populi, vox Dei” — Suara rakyat adalah suara Tuhan. Siapa yang mengabaikannya, pasti akan menuai karma dari ucapannya sendiri.
Sudah banyak pejabat seperti Bupati Pati ini, demi mengejar citra sebagai kepala daerah yang “populis” sehingga perilakunya menjadi berlebihan. Masyarakat sebenarnya mengetahui mana pejabat yang berkata dan berpikir dahulu sebelum mengambil tindakan.
Kepercayaan publik bukan dibangun dalam sehari, melainkan lewat konsistensi. Begitu seorang pemimpin kehilangan kepercayaan itu, maka apa pun ucapannya ke depan akan selalu dicurigai sebagai pencitraan.
Pejabat Kekinian : Makhluk yang Berpikir?
Ungkapan Aristoteles berkata, “Manusia adalah binatang yang berpikir.” Maka, jika pejabat tidak menggunakan pikirannya dalam bertutur dan bertindak, apakah masih pantas disebut manusia? Kita semua merasa prihatin kalau fenomena semacam ini semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Jika berpikir adalah ciri utama manusia, maka pejabat—yang diberi amanah memimpin—seharusnya berpikir lebih keras, lebih dalam, dan lebih matang daripada rakyat biasa. Itulah dasar kepercayaan yang diberikan lewat pemilu
Dalam konteks ini saya lebih suka menegaskan: "Pejabat adalah makhluk yang berpikir." Rakyat memilih mereka karena mereka percaya pada kemampuan berpikir seorang pemimpin—untuk menyelesaikan masalah, mengelola sumber daya, dan menyejahterakan rakyat.
Sayangnya, fenomena yang kita lihat justru sebaliknya. Ucapan keras, keputusan sembrono, dan kebijakan tanpa sosialisasi sering kali jadi pemandangan