Mohon tunggu...
BEKA Bayu Krisna
BEKA Bayu Krisna Mohon Tunggu... Coach NLP/ Mind Management

Hobi : Membaca dan memberikan pelatihan Kepribadian : curosity sangat tinggi, komunikatif, humoris Topik konten yang paling disukai adalah komunikasi, mind management, marketing, ligkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Monkey See, Monkey Do : Cermin Pejabat Masa Kini

13 Agustus 2025   07:04 Diperbarui: 10 Agustus 2025   22:00 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : Dr.Petrus Palgunadi

Saya tertawa getir mendengar cerita Bupati Gunung Kidul, Endah Subekti Kuntariningsih, yang mengeluhkan serangan monyet ekor panjang kepada Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Monyet-monyet itu, katanya, semakin cerdas. Ketika dihalau dari ladang jagung, mereka malah pindah ke rumah warga dan mencuri makanan. Bahkan saat diberi buah-buahan setiap hari Jumat, mereka seolah tahu nama hari.

Saya jadi teringat lagu Michael Franks, "Monkey See, Monkey Do." Monyet hanya menirukan apa yang dilihat---tanpa berpikir. Ironisnya, pola ini juga banyak terlihat pada perilaku pejabat kita: bicara dulu, pikir belakangan.

Bicara Dulu, Pikir Belakangan

Adalah Bupati Pati yang bernama “Sudewo” yang mungkin orang tuanya mengharap anaknya jadi dewa. Karena merasa dewa, pejabat kekinian ini menantang rakyatnya sendiri untuk mendemo kebijakan kenaikan PBB hingga 250%. Masyarakat Pati rupanya bukan tipe masayarakat yang takut gertakan dewa, Rakyat menjawab tantangan itu dengan aksi besar-besaran. Tak hanya dari Pati, dukungan untuk masyarakat Pati juga datang dari luar daerah, baik dalam bentuk makanan, minuman, maupun dukungan moral.

Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya solidaritas warga ketika menghadapi ketidakadilan. Dalam dunia yang kian terhubung oleh media sosial dan berita online, satu pernyataan pejabat bisa menyulut gerakan yang lebih besar dari yang ia bayangkan.

Tak segarang sebelumnya, saat tekanan publik makin besar, sang bupati pun berkata lirih,

“Ya enggak mungkin to, mosok saya menantang masyarakat Pati... Saya minta maaf dan masih harus banyak belajar.”

Orang Pati akan mengatakan Sudewo lisannya “mencla-memce, esuk dele sore tempe” alias asal bunyi.

Fenomena Salah Lisan di Kalangan Pejabat

Sesungguhnya Sudewo bukan satu-satunya pejabat yang melakukan salah lisan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, sempat melontarkan kalimat,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun