Oleh : Dr.Petrus Palgunadi
Saya tertawa getir mendengar cerita Bupati Gunung Kidul, Endah Subekti Kuntariningsih, yang mengeluhkan serangan monyet ekor panjang kepada Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Monyet-monyet itu, katanya, semakin cerdas. Ketika dihalau dari ladang jagung, mereka malah pindah ke rumah warga dan mencuri makanan. Bahkan saat diberi buah-buahan setiap hari Jumat, mereka seolah tahu nama hari.
Saya jadi teringat lagu Michael Franks, "Monkey See, Monkey Do." Monyet hanya menirukan apa yang dilihat---tanpa berpikir. Ironisnya, pola ini juga banyak terlihat pada perilaku pejabat kita: bicara dulu, pikir belakangan.
Bicara Dulu, Pikir Belakangan
Adalah Bupati Pati yang bernama “Sudewo” yang mungkin orang tuanya mengharap anaknya jadi dewa. Karena merasa dewa, pejabat kekinian ini menantang rakyatnya sendiri untuk mendemo kebijakan kenaikan PBB hingga 250%. Masyarakat Pati rupanya bukan tipe masayarakat yang takut gertakan dewa, Rakyat menjawab tantangan itu dengan aksi besar-besaran. Tak hanya dari Pati, dukungan untuk masyarakat Pati juga datang dari luar daerah, baik dalam bentuk makanan, minuman, maupun dukungan moral.
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya solidaritas warga ketika menghadapi ketidakadilan. Dalam dunia yang kian terhubung oleh media sosial dan berita online, satu pernyataan pejabat bisa menyulut gerakan yang lebih besar dari yang ia bayangkan.
Tak segarang sebelumnya, saat tekanan publik makin besar, sang bupati pun berkata lirih,
“Ya enggak mungkin to, mosok saya menantang masyarakat Pati... Saya minta maaf dan masih harus banyak belajar.”
Orang Pati akan mengatakan Sudewo lisannya “mencla-memce, esuk dele sore tempe” alias asal bunyi.
Fenomena Salah Lisan di Kalangan Pejabat
Sesungguhnya Sudewo bukan satu-satunya pejabat yang melakukan salah lisan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, sempat melontarkan kalimat,