Mohon tunggu...
BedeR
BedeR Mohon Tunggu... Jurnalis

Jurnalis sejak 2004 sampai sekarang. Masih aktif melaksanakan tugas jurnalis di harian Posmetro Batam perwakilan Tanjungpinang - Bintan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan di Taman Kota

3 Mei 2025   10:46 Diperbarui: 3 Mei 2025   10:57 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunda, saban hari selalu berdandan cantik. Pakai gincu merah. Pakai bedak tebal. Rambutnya diikat kuncir kuda.

Pakai parfume semprot sana semprot sini. Asal aku tanya mau pergi ke mana Bun, dia marah. Katanya, anak kecil mau tau aja urusan orang tua. "Sana berangkat sekolah!" perintahnya setengah membentak.

Aku bukan tak berusaha melarangnya. Pernah hujan lebat, dia nekat pakai payung keluar rumah. Dia pergi, dan duduk menyendiri di taman kota, sambil menikmati sebungkus kwaci.

"Bun. Sudahlah. Di rumah saja. Nanti bunda sakit, Rita sedih kalau lihat bunda seperti ini setiap hari." kataku.

Tetapi, kemarahan ibu memuncak. "Sudah. Kamu itu anak kecil. Tak perlu ngurus urusan orang tua!" bentaknya.

Betapa sedih menyaksikan bunda yang sedang frustasi seperti itu. Kata orang, bunda gila. 

Tapi, hanya aku yang tahu. Dia bukan gila. 

Semua bermula dari sebuah pertengkaran hebat antara bunda dan ayah. 

Ayah, ketahuan menjalin hubungan gelap dengan perempuan lain. Bunda sedih. Ayah pergi meninggalkan rumah. Sejak itu, bunda lebih banyak diam. 

Jarang masak. Jarang ngurus rumah. Cucian pun dibawa ke laundry. Terus kerjanya dandan pagi-pagi. 

Selesai berdandan, dia pergi ke suatu tempat, taman di tengah kota. Taman itu, menurut bunda, tempat pertama kali ayah mengajak kencan pertama.

Di sana, kata bunda, ia dan ayah sanggup duduk seharian sambil menikmati makan kwaci. Sore, jelang maghrib baru pulang ke rumah, dengan sepeda onthel.

Sekarang, itulah yang dikerjakan bunda. Pagi-pagi jam tujuh, dia sudah berdandan cantik. Pergi ke warung Pak De Harmoko, beli kwaci dan dibawa ke taman itu. 

Pernah aku jemput karena hingga larut malam, bunda tak kunjung pulang. Katanya, dia tak mau pulang, menunggu ayah datang menjemput.

"Bunda mau disini sampai ayahmu jemput. Pasti ayahmu suka lihat bunda pakai baju ini." kata bunda, hingga membuatku sedih melihatnya.

Memang, kata bunda, itu baju pertamanya yang dia pakai saat diajak kencan pertama sama ayah. Bunda memakainya sampai berhari-hari. Kecuali kena hujan, bunda membawanya ke laundry. 

Tapi, meski baju kenangan itu ada di laundry, bunda tak pernah absen ke taman kota. Bunda pakai baju lain. 

Tak jarang, bunda selalu bertanya kalau siap berdandan. "Cantik kan, bunda pakai baju ini. Gimana, wangi nggak parfumenya." tanya bunda tanpa memberiku kesempatan menjawab. 

Aku berharap, bunda kembali ke kehidupan nyatanya. Tanpa dibayang-bayangi kehadiran ayah. 

Aku ingin bunda melupakan ayah, karena ayah memang tak lagi menginginkan bunda. Buktinya dia pergi meninggalkan kami. Bunda terluka. Namun, dia tetap berharap 

ayah kembali ke pelukannya.(BedeR)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun