Di sana, kata bunda, ia dan ayah sanggup duduk seharian sambil menikmati makan kwaci. Sore, jelang maghrib baru pulang ke rumah, dengan sepeda onthel.
Sekarang, itulah yang dikerjakan bunda. Pagi-pagi jam tujuh, dia sudah berdandan cantik. Pergi ke warung Pak De Harmoko, beli kwaci dan dibawa ke taman itu.Â
Pernah aku jemput karena hingga larut malam, bunda tak kunjung pulang. Katanya, dia tak mau pulang, menunggu ayah datang menjemput.
"Bunda mau disini sampai ayahmu jemput. Pasti ayahmu suka lihat bunda pakai baju ini." kata bunda, hingga membuatku sedih melihatnya.
Memang, kata bunda, itu baju pertamanya yang dia pakai saat diajak kencan pertama sama ayah. Bunda memakainya sampai berhari-hari. Kecuali kena hujan, bunda membawanya ke laundry.Â
Tapi, meski baju kenangan itu ada di laundry, bunda tak pernah absen ke taman kota. Bunda pakai baju lain.Â
Tak jarang, bunda selalu bertanya kalau siap berdandan. "Cantik kan, bunda pakai baju ini. Gimana, wangi nggak parfumenya." tanya bunda tanpa memberiku kesempatan menjawab.Â
Aku berharap, bunda kembali ke kehidupan nyatanya. Tanpa dibayang-bayangi kehadiran ayah.Â
Aku ingin bunda melupakan ayah, karena ayah memang tak lagi menginginkan bunda. Buktinya dia pergi meninggalkan kami. Bunda terluka. Namun, dia tetap berharapÂ
ayah kembali ke pelukannya.(BedeR)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI