Mohon tunggu...
Suyanti
Suyanti Mohon Tunggu... Guru - Guru

terus belajar dan masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Untukmu Ibu): Rindu yang Berjarak: Antara Aku dan Ibu

23 Desember 2013   19:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

(19) Bebadra Nayaka

Aku masih ingat pelukannya yang kuat, saat kuperkenalkan seorang pria yang kuyakini, akan menemaniku hingga kututup usia. Saat itu, hampir setahun aku meninggalkan rumah dan menyatakan akan menuntut ilmu di negeri yang jauh. Dan saat kupulang untuk berlibur, kubawa serta seseorang yang asing kepada keluargaku. Ibu memelukku seperti aku masih anaknya yang kecil dan akan berbuat nakal. Awalnya, aku merasa biasa saja dan mengatakan aku baik-baik saja. Namun, entahlah, desah nafasnya yang menahan tangis, mengoyak mataku yang kering, berlinang air mata. Entah, rasa sesak yang tak kurasa atau rasa rindu yang begitu besar. Aku merasa mengacuhkannya, saat aku mengenal pria yang akan meminangku dan saat ini ada di dekatku. Cintaku padanya, menjadi sedikit bergeser. Biasanya, selalu kutelpon ibu di akhir pekan lebih panjang daripada pagi-pagi sesaat sebelum beraktifitas atau tengah malam, sesaat sebelum tidur. Namun, suara ibu terasa menjadi biasa saja dan tak kutunggu karena hatiku diisi oleh seorang pria yang mewarnai cintaku dengan warna yang lebih menggejutkanku. Aku lebih menunggu suara dering telpon darinya daripada harus menelpon ibu. kutelpon Ibu hanya untuk membuatnya tidak terlalu banyak bertanya dan membuatnya sedikit tenang saja. Aku tak merasa berjarak dengan ibu, kuanggap saja ini fase hidupku. Namun, ibu membaca jarak yang kubuat. Meraba langkahku yang menjauh.

Hari itu, ibu mengajakku masuk ke dalam kamarnya. Tak dilepaskan pula genggaman tangannya. Menata letak rambutku yang tak perlu ditata. Mengusap airmataku yang tak mau berhenti. Aku tak bisa bernafas, hidungku penuh dengan air mata. Berada di dekatnya membuatku rapuh sekaligus tersadar bahwa aku telah jauh dan berjarak dengannya. Aku bukan gadis kecilnya yang selalu bisa digendongnya saat terjatuh dan luka. Ibu hanya bisa melihatku dalam proses hidupku. Meski, kulihat luka di matanya, hanya senyum dan usapan lembut di kening saja yang Ia lakukan untuk mengingatkanku.

Namun, hari itu, saat kuperkenalkan seorang pria yang akan memilikiku seumur hidupku. Ibu berderai air mata dan memperlakukanku tak seperti biasanya. Aku merasa Ibu memperlakukanku sebagai wanita, seperti dirinya. Kata dan tanya yang Ia ucapkan begitu berhati-hati dan tertata. Dia tak bertanya padaku tentang siapa pria yang kupilih namun satu pertanyaan yang selalu akan kuingat dan mungkin akan kusampaikan pula pada anakku kelak. Ia sampaikan padaku bagaimana aku bertemu dengan pria pilihanku, dan maafkan aku Ibu, tak semua bisa kuceritakan padamu. Meskipun, aku tahu, ibu pun tak meminta semua penjelasanku. Kusadari ada makna yang harus kutangkap dalam hitungan detik kesadaranku. Keputusanku untuk bertemu dengannya saat itu merupakan akhir masa sendiriku. Masa aku berpisah pada kesendirianku dan menjadi wanita. Merasakan hasrat dan cinta.

Ibu memelukku dan membisikkan padaku. Ia nyatakan padaku kesiapannya untuk melepasku. Jauh sebelum kukatakan hal ini padanya. Ibu sampaikan pula perpisahannya dengan gadis kecilnya yang siap menjadi seorang wanita dan kelak akan menjadi ibu seperti dirinya. Diusapnya kedua telingaku dengan isak tertahan di bibirnya. Lalu, Ia tanyakan padaku perkenalkan aku pada pria pilihanmu.

Hatiku bergetar, bukan tentang bagaimana penilaian ibuku pada lelaki pilihanku. Namun, sikapnya yang menerima dan memahami pilihan yang kujalani, meski kuyakini ada sisa luka itu. Luka yang saat itu ingin kuhapus dengan sebuah pembuktian. Namun, ternyata butuh waktu untuk bisa membuatnya percaya bahwa gadisnya sanggup menghadapi hidup barunya. Jauh dari penglihatan dan jangkauannya. Saat itu ibu, aku ingin mengatakan padamu namun tak pernah bisa kuungkapkan. Betapa apa yang telah kau ajarkan padaku adalah pengalaman hidupmu dan bisa saja terjadi padaku. Mengapa, aku perlu waktu hanya untuk memahami sebuah kata. Mengapa aku harus terluka dahulu untuk bisa mengerti sakit. Kupandang wajah ibu, yang menyambut kekasihku dengan kedua tangannya dalam pelukan. Saat itu, aku merasakan kelegaan karena telah melewati satu tahapan usia

Ibu, hari pernikahan itu datang juga. Kulihat kau begitu sibuk menyiapkan semua dengan sempurna. Sesekali kulihat, kau melirik puterimu yang sedang dirias dari balik kaca yang terpantul di ruang tengah. Aku malu ibu, saat kau menatapku seperti itu. Aku merasa akan menjadi sepertimu. Dan hari itu, kulihat kau seperti tak memperhatikanku atau aku yang merasa asing saja. Semua orang memandangku berbeda, sama seperti cara memandangmu. Aku tak bisa banyak bicara dan kau juga Ibu, tak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Waktu berjalan sangat cepat. Lewat gerak dan pandang itu, kupahami sasmita hidup berumah tangga dalam alur waktu yang terus bergerak. Melintas cepat dan bertindak cepat. Aku tak bisa menggiring waktu ibu, jadi ku biarkan waktu mengajakku berlari dalam iramanya. Kuikuti gelombangnya dan terkadangg kulawan dalam diam. Seperti hari itu ibu, saat bunga-bunga di rangkai di kepalaku, aku menangis tak tentu. Saat semua mata menyaksikan ikrarku, mataku tak tahan untuk tidak menangis. Kau memelukku lebih erat seakan tak ingin melepaskanku. Saat itu ibu, aku hanya berpikir kau bersedih karena aku akan pergi meninggalkanmu. Ternyata, aku salah mengartikan airmatamu. Makna air mata bahagiamu dan juga pesan yang dalam terkandung dalam setiap tetesan itu, baru kupahami sekarang. Kau siap melepaskan gadismu dan aku berharap kau percaya aku mampu melewati hari seperti masa-masa yang telah kau lewati dulu. Dan kulihat jejak itu, kulihat diguratan matamu yang dulu tak pernah kulihat. Menjalankan keseharian sebagai sebuah nikmat, membuatmu tak lelah menghadapi naik turunnya hidup.

Masih kuingat Ibu, hari pertama saat aku menjadi gadis dewasa. Kau perkenalkan aku pada benda-benda yang untuk menyentuhnya dulu saja aku malu. Namun, akhirnya aku menyukai juga. Bahkan, aku sering tertarik untuk membeli yang lebih menantang dan menarik. Lalu, tak lupa pula kau ajarkan aku memenej keinginan.

Bila kuingat saat-saat itu ibu, aku merasa masih menjadi gadis kecilmu. Namun, sekarang aku sudah sepertimu ibu. Menjadi ibu untuk cucumu yang lucu. Di hari-hari sibukku, selalu kau luangkan waktuku untuk menjaga puteraku. Pekerjaan yang harusnya menjadi kewajibanku masih saja menjadi bebanmu. Harusnya, aku malu, namun aku membuat alasan yang terdengar sangat dewasa dan bijaksana. Aku tak mau kau memaklumi keadaanku Ibu, aku ingin engkau memarahiku. Namun, kulihat kau hanya menghindariku. Kau, mejadi lebih asyik dengan puteraku. Aku iri padamu Ibu. Melihat puteraku lebih membutuhkanmu daripada aku, ibunya.

Ibu, aku sudah menjadi seorang istri sepertimu juga. Bahkan, puteraku sudah beranjak balita. Namun, mengapa rasaku sebagai Istri dan Ibu tak bisa kurasa. Kau mengambil bagianku yang paling sederhana. Aku tak bisa merasa pelukan hangat dari anakku yang merajuk manja. Aku tak akan menyalahkanmu, ibu. Aku mencoba ihklas atas keputusan yang kubuat. Aku memilih menjadi wanita pekerja. Bukan, seperti ibu yang menghidupi rumah dengan bekerja.

Ibu, kau menatapku lagi seperti itu. Aku tidak suka Ibu. Tatapanmu membuatku merasa bersalah. Sepertimu, aku tak pernah melawanmu dengan kata. Diam dan jarak itu saja yang kita lakukan. Meski kau tahu, jarak jugalah yang membuat kita lebih dekat dan memahami. Kau ajari aku membaca sasmita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun