Entah apa pertimbangannya kok proses demikian tidak ditempuhnya. Mungkin karena proses penyelesaiannya dipandang  memerlukan waktu  lama. Hukumannya ringan dirasa tidak sebanding dengan perbuatannya. Untuk memberi pelajaran kepada pencuri dengan mempermalukan agar kapok, jera dan berhenti sebagai pencuri.Â
Untuk mengingatkan calon-calon maling lainnya agar jangan coba-coba melakukan pencurian karena akan diperlakukan serupa dengannya. Atau demi memuaskan hasrat primitif, semangat bar-bar, brutal, Â tiada maaf pengampunan, nihil belas kasih? Subyektifitas pelaku, memilih jalan pintas, instan, mudah, murah berkualitas rendah, menghadirkan dan memprovokasi massa demi kepuasan balas dendam, merupakan pintu lebar dan jalan luas bagi kehancuran dan kebinasaan. "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya."
Jer basuki mawa bea. Keberhasilan, keluhuran, kemuliaan, keselamatan mesti ditempuh lewat jalan kebaikan, kebenaran. Paskah, kebangkitan Yesus dijalani lewat Golgota, penyaliban. Ini benar tapi tidak popular. Ini kudus tapi tidak bagus untuk yang memilih jalan instan terabas dan pintas. Hal-hal yang kudus, ajaran suci akan mental, tak berguna, diabaikan, bagi  para pecundang yang memutuskan mau menjadi gilang gemilang sebagai pemenang lewat seribu dua cara curang.Â
Bagi mereka yang dirasuki semangat kebabian, membabi buta dengan kenajisan dan kekafiran, hal-hal kudus itu "apus-apus", jadi tempat tandus, membumihanguskan sikap dan tindakan lurus. "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu." Pengajaran kudus, tempat kudus, kitab kudus, barang-barang kudus, sia-sia, tak bermakna bagi mereka. Â Baginya jer basuki mawa (bara api arang) panas. Â Muspra belaka.
Apa yang dapat dipetik dari permenungan ini? Bagaimana kehidupan diri? Masih setia pada filosofi hukum emas tepa slira, jer basuki mawa bea? Ataukah sudah dirasuki roh kebabian membabi buta dengan kenajisan dan kekafiran?  Maukah jadi sisa kecil, minoritas yang bertahan hidup di jalur  sesaknya pintu dan sempitnya jalan yang menuju kepada kehidupan? Ataukah terjun bebas tenggelam dalam mayoritas yang memilih lebarnya pintu dan luasnya jalan yang menuju kepada kebinasaan? Maukah menghidupi prinsip  Yesus dengan  hukum emas tepa slira, jer basuki mawa bea?
Yang, tepa slira, hidup benar sebagai manusia benar dengan Allah benar yang esa, kuasa dan kasih-Nya tanpa batas. Hidup penuh syukur,  sukacita,  semangat, dan jadi berkat, pada saat untung dan malang, suka dan duka, sehat maupun sakit.  Ini  misteri. Jer basuki mawa bea.