Mohon tunggu...
B Budi Windarto
B Budi Windarto Mohon Tunggu... Guru - Pensiunan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lahir di Klaten 24 Agustus 1955,.Tamat SD 1967.Tamat SMP1970.Tamat SPG 1973.Tamat Akademi 1977

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tepa Slira, Tepakna Awakmu Dhewe!

22 Juni 2021   08:36 Diperbarui: 22 Juni 2021   08:50 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bacaan Selasa 22 Juni 2021

Mat 7:6 Dalam khotbah di bukit, Yesus bersabda "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu." 

12 "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. 

13 Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; 14 karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya."

Renungan

Ingat ke"tegel"an, kesadisan, kekejaman yang dilakukan komandan Hanra, Pertahanan Rakyat Desa kepada tetangganya yang konon melakukan pencurian kambing. Begitu teganya sang komandan ini mengarak seorang bapak dengan anaknya masuk kampung ke luar kampung Anak-anak kecil, sebaya saya diajak meramaikan "perarakan" dengan memukul-mukul aneka peralatan seperti kentongan, panci, ember, dan cangkir. Pada setiap pertigaan atau perempatan lurung kampung, mereka berhenti. Sang komandan yang memimpin aksi "prosesi"nya itu  menyuruh sang bapak mengulang-ulang kalimat yang diucapkan. "Le, aku nyolong wedhus!"


Sementara sang anak mengulang-ulang kalimat "Pak, aku nyolong wedhus!" Ketika perarakan itu sampai di halaman rumah orang tua sang bapak atau kakek nenek sang anak, kalimat yang diucapkan sang bapak berubah menjadi , "Pak aku nyolong wedhus. Mbok aku nyolong wedhus!" 

Sedangkan kalimat sang anak berganti menjadi, "Mbah kakung, aku nyolong wedhus. Mah putri aku nyolong wedhus!"  Sebuah tindakan bermutu rendah, murahan, gampangan, menerabas jalan pintas mempermalukan orang di depan umum. Menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah. Bijaksini, tetapi tidak bijaksana. Tindakan yang tidak mencerminkan filosofi Jawa tepa slira, jer basuki mawa bea. Filosofi bagus, namun dalam realitanya muspra, lenyap, sia-sia belaka.

Pengalaman itu dapat digunakan sebagai pijakan untuk merenungkan bacaan Injil hari ini. Filosofi Jawa tepa slira, tepakna awakmu dhewe. Jika tidak mau disakiti, dilukai, dipukul, direndahkan, dilecehkan, dibohongi, ditipu, dkk, janganlah menyakiti, melukai, memukul, merendahkan, melecehkan, membohongi, atau menipu liyan. Jika ingin dicintai, dihargai, dihormati, dibaiki, diterima, cintailah, hargailah, hormatilah, baikilah, terimalah liyan. Coba jika pelaku pencurian kambing tersebut adalah ayah dan adik sang komandan, akankah ia membuat perlakuan yang sama?

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." Memperlakukan seperti  ingin diperlakukan merupakan kaidah emas kehidupan. Gaya hidup komunitas murid-murid Yesus tidak boleh abai, lalai, apalagi tidak memakai hukum emas kehidupan ini.

Tentunya ada jalan baik dan benar yang dapat ditempuh sang komandan waktu itu. Lapor kepada yang berwenang, kepolisian untuk memprosesnya. Polisi akan melakukan penyidikan , penyelidikan dst menyerahkan berkasnya kepada jaksa penuntut umum dan pengadilan menjadi ajang peradilan. Jika terbukti bersalah, dihukum sesuai dengan ancaman hukumannya. Menjatuhkan hukuman hanya kepada yang sudah terbukti bersalah, dengan hukuman sesuai ancaman hukumannya. Obyektifitas terjaga. Sehingga terhindar dari menghukum orang benar atau menjatuhkan hukuman lebih berat dari pada yang seharusnya.

Entah apa pertimbangannya kok proses demikian tidak ditempuhnya. Mungkin karena proses penyelesaiannya dipandang  memerlukan waktu  lama. Hukumannya ringan dirasa tidak sebanding dengan perbuatannya. Untuk memberi pelajaran kepada pencuri dengan mempermalukan agar kapok, jera dan berhenti sebagai pencuri. 

Untuk mengingatkan calon-calon maling lainnya agar jangan coba-coba melakukan pencurian karena akan diperlakukan serupa dengannya. Atau demi memuaskan hasrat primitif, semangat bar-bar, brutal,  tiada maaf pengampunan, nihil belas kasih? Subyektifitas pelaku, memilih jalan pintas, instan, mudah, murah berkualitas rendah, menghadirkan dan memprovokasi massa demi kepuasan balas dendam, merupakan pintu lebar dan jalan luas bagi kehancuran dan kebinasaan. "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya."

Jer basuki mawa bea. Keberhasilan, keluhuran, kemuliaan, keselamatan mesti ditempuh lewat jalan kebaikan, kebenaran. Paskah, kebangkitan Yesus dijalani lewat Golgota, penyaliban. Ini benar tapi tidak popular. Ini kudus tapi tidak bagus untuk yang memilih jalan instan terabas dan pintas. Hal-hal yang kudus, ajaran suci akan mental, tak berguna, diabaikan, bagi  para pecundang yang memutuskan mau menjadi gilang gemilang sebagai pemenang lewat seribu dua cara curang. 

Bagi mereka yang dirasuki semangat kebabian, membabi buta dengan kenajisan dan kekafiran, hal-hal kudus itu "apus-apus", jadi tempat tandus, membumihanguskan sikap dan tindakan lurus. "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu." Pengajaran kudus, tempat kudus, kitab kudus, barang-barang kudus, sia-sia, tak bermakna bagi mereka.  Baginya jer basuki mawa (bara api arang) panas.  Muspra belaka.

Apa yang dapat dipetik dari permenungan ini? Bagaimana kehidupan diri? Masih setia pada filosofi hukum emas tepa slira, jer basuki mawa bea? Ataukah sudah dirasuki roh kebabian membabi buta dengan kenajisan dan kekafiran?  Maukah jadi sisa kecil, minoritas yang bertahan hidup di jalur  sesaknya pintu dan sempitnya jalan yang menuju kepada kehidupan? Ataukah terjun bebas tenggelam dalam mayoritas yang memilih lebarnya pintu dan luasnya jalan yang menuju kepada kebinasaan? Maukah menghidupi prinsip  Yesus dengan  hukum emas tepa slira, jer basuki mawa bea?

Yang, tepa slira, hidup benar sebagai manusia benar dengan Allah benar yang esa, kuasa dan kasih-Nya tanpa batas. Hidup penuh syukur,  sukacita,  semangat, dan jadi berkat, pada saat untung dan malang, suka dan duka, sehat maupun sakit.  Ini  misteri. Jer basuki mawa bea.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun