Mohon tunggu...
Bayu Suntara
Bayu Suntara Mohon Tunggu... FREELANCER -

Freelance Journalist, Music n coffee addict,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Psywar Sedang Menyasar Jati Diri Bangsa Loh

14 September 2017   00:09 Diperbarui: 15 September 2017   10:44 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Perang psikologis, istilah yang mulai populer di Amerika Serikat selama Perang Dunia ke-I untuk mengidentifikasi suatu anatomi dan sumber konflik yang usianya hampir sama dengan kemunculan ilmu tentang sejarah konflik tersebut. Meskipun istilah tersebut menjadi diskusi yang populer dan ilmiah di Amerika Serikat dan Eropa dalam satu dekade setelah berakhirnya Perang Dunia I, tapi maknanya yang dianggap tidak selalu jelas karena ada beberapa pandangan mengenai sifat dan ruang lingkupnya.

Beberapa orang telah membatasi maknanya pada rentang aktivitas yang jelas-jelas berada di dalam yurisdiksi angkatan bersenjata dan yang berpusat pada penyebaran propaganda kepada khalayak sebagai target tertentu untuk mendukung pencapaian sebuah misi militer yang direncanakan. Namun, pandangan tentang perang psikologis ini ternyata hingga kini masih terbatas bagi kebanyakan jurnalis, politisi, dan ilmuwan karena penafsiran terhadap sifat dan skup nya yang memang dapat berbeda-beda.

Meskipun demikian, ada beberapa pengertian yang lebih menjurus khususnya dari karakter yang dapat di analisa secara kasat mata khususnya pada perilaku media dan policy. Policy yang dimaksud ketika ada sebuah kekuatan yang mengendalikan kekuatan lainnya (negara target) melalui penciptaan ketergantungan-ketergantungan, peluang-peluang bahkan hingga privillage dimana dalam konteks Psywar antar negara salahsatu contohnya berupa "Pinjaman atau hutang luar negeri (ekonomi) dan "sistem demokrasi (Politik)".

Sehingga tidak salah jika ada pandangan bahwa perang psikologis adalah sebuah totalitas upaya bangsa untuk mempengaruhi pendapat dan perilaku orang/masyarakat/negara dan pemerintah dalam arah yang diinginkan melalui cara mengaktivasi sumber daya politik, ekonomi, budaya dan militer suatu negara. Dalam pengertian sehari-hari kita mengenalnya sebagai propaganda.

Penulis sengaja mengangkat tema tentang Psywar dengan sebuah alasan bahwa akhir-akhir ini seringkali mendengar ancaman Proxywar sedang melanda Indonesia. Dua buah terminologi yang berbeda secara etimologi namun Psywar dapat menjadi salah satu sub-manifestasi dari Proxywar karena output dan outcome-nya sebelas dua belas dan sekedar menyadarkan para pembaca agar kita segera waspada dan resistan melalui sikap yang penuh kehati-hatian agar tidak terpolarisasi.

Lalu bagaimana "resillience" Indonesia dalam menghadapi psywar yang sedang melanda negara kita tercinta ini ?, Dalam perspektif penulis, Indonesia tidak terlalu bereaksi terhadap Psywar threats yang sudah jelas-jelas menimbulkan spoils melalui perubahan dan pergeseran karakter bangsa yang sebenarnya adalah output dari sebuah Psywar yang dilakukan oleh "actor" Proxywar.

Mengapa "actor" ??? karena aktor sebagai pelaku utama sudah terlalu jelas terbaca dalam langkah-langkah diplomasinya secara langsung yang membuat kita cenderung dibuat maju mundur dan setengah-setengah dalam bertindak. Meskipun demikian, agen-agen "Non State Actor" nya sudah sangat berfusi secara rapih ke dalam struktur menampilkan kesan yang sangat likuid dan mengikuti trend walau kadang-kadang kebablasan dan diluar kendali.

Lalu apa indikatornya? Indikator dari segi politik dan ekonomi terlalu mudah dan terang benderang dan bukan menjadi perhatian penulis karena dua aspek itu masuk ke domain "policy" yang sebenarnya sangat "automatic" melekat pada arah kebijakan suatu rezim, jadi jika melihat ke belakang, dalam hitungan 5 tahunan bisa terjadi evaluasi dan koreksi secara total untuk berubah haluan, sehingga penulis lebih tertarik untuk mengeksplorasi ancaman terhadap jatidiri bangsa (karakter).

Mengapa? Karena karakter sebuah bangsa adalah corak khusus yang dimiliki suatu bangsa untuk membedakan dengan bangsa lain di dunia. Hilangnya karakter bangsa akan melemahkan bangsa tersebut pada semua lini kehidupan. Sehingga dapat dengan mudah bangsa itu dihancurkan dan semakin mudah dikuasai oleh bangsa asing lewat penguasaan ekonomi, penguasaan budaya dan bahkan penguasaan akan sumber-sumber yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Penulis mencoba menggunakan Pancasila sebagai sandarannya baik sebagai Ideologi atau falsafah hidup bangsa. Namun seiring perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di era media digital yang sangat progresif ini membuat nilai-nilai pancasila sebagai ideologi bangsa mulai luntur dan terdegradasi.

Hari ini sangat berbeda dengan era orde baru, Pancasila tidak lagi dipahami sebagai satu-satunya Ideologi namun sudah ada upaya-upaya pemaksaan terhadap ideologi lain yang dulunya bersifat laten namun di coba untuk disemai kembali oleh para aktor intelektual yang berjilid aktivis, seniman, politisi bahkan tokoh-tokoh sentral. Nilai-nilai kemanusiaan bangsa Indonesia akhir-akhir ini juga semakin terkikis sifat egois dan serakah yang dipertontonkan melalui layar kaca melalui perilaku korup yang sudah melembaga dan tidak tanggung-tanggung besaran dan kapasitas pelakunya. Perlakuan buruk terhadap warga miskin dengan semena-mena, rela mengorbankan rakyat demi kepentingan pemodal, hingga tontonan adu jotos wakil rakyat yang notabene dipilih oleh rakyat dan disumpah di bawah kitab suci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun