Mohon tunggu...
Bayuaji Bb
Bayuaji Bb Mohon Tunggu... -

penikmat bus antar kota antar provinsi(akap). \r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jogja, Antara Kemacetan dan Kenangan

25 Juli 2016   17:22 Diperbarui: 25 Juli 2016   17:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“...masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat.....teringat aku akan nostalgia...nikmati bersama suasana Jogja.....” Demikian penggalan lagu berjudul Jogjakarta besutan kelompok musik KLA Project. Lagu yang selalu diputar saat pesawat ATR 72 milik Wings Air akan terbang atau sesaat setelah mendarat di Bandara Adisutjipto beberapa tahun yang lalu(entah sekarang, masihkah diputar?).

Jogjakarta memang selalu meninggalkan kenangan. Bahkan karena linimasa di dunia maya  tentang pengambilan gambar film AADC2  di Jogja, saya pun rela menonton film ini di Magelang(jauh-jauh dari tempat mukim saya di Kebumen). Paling tidak dengan menonton film ini kenangan akan Jogja tetap terawat dengan baik.

 Jogja memang telah berubah banyak, bisa jadi kini makin banyak  bangunan-bangunan tinggi menjulang,  sebagai simbol tentang sesuatu yang mungkin diangggap modern. Namun kemacetan atau antrian kini telah menjadi bagian dari kota ini. Bahkan di udara saja antrian juga terasa ketika akan mendarat/terbang dari  Bandara Adisutjipto. 

Ketika akan akan antri mendarat maka kita  terbang di seputaran Waduk Sermo dan Pantai Selatan Kulon Progo(lokasi bakal bandara baru Jogja). Bandara Adisutjipto yang sejatinya merupakan Pangkalan TNI AU dan tempat pendidikan bagi  penerbang/instruktur penerbang militer  kini dipaksa untuk melayani kebutuhan angkutan udara komersial yang seolah tiada batasnya. Sementara bandara pengganti pun belum jelas juntrungannya.

Sementara di seputaran Jogja arus lalu lintas pun kini semakin sesak, bisa dibilang padat merayap. Tengok saja di Jalan Lingkar Utara yang membentang dari Jombor sampai Maguwo. Jalan yang sejatinya dibuat untuk orang-orang dari Sleman/Magelang ke arah Klaten/Solo, atau sebaliknya supaya tidak “ngebaki” kota Jogja, kini juga padat oleh orang-orang Jogja sendiri yang beraktivitas di sepanjang jalan itu.

Tengok saja antrian(terutama saat liburan) mulai dari perempatan Monjali, perempatan Jakal, perempatan Condongcatur, perempatan UPN, butuh waktu lama untuk meloloskan diri dari bangjo-bangjo di perempatan-perempatan tersebut. Apabila ingin lebih cepat meloloskan diri dari lampu bangjo, sebaiknya gunakan jalur lambat. Tips ini saya dapatkan dari angkutan umum yang melintas di perempatan-perempatan tersebut.

Jalan Lingkar Utara kini dipenuhi berbagai aktivitas ekonomi dan pendidikan. Dahulu mungkin hanya ada Polda, UPN, dan beberapa ruko. Kini ruko berjajar sangat banyak, hotel yang kian menjamur, pusat perbelanjaan juga telah megah berdiri, juga bangunan rumah sakit. Akibatnya bagi para pelintas dari Magelang ke Solo dan sebaliknya maka jalan ini tidak ada bedanya dengan jalan di pusat kota. Bisa jadi nantinya akan dibangun lagi Jalan Lingkar Lingkar Utara.

Untuk pusat kota Jogja boleh jadi saya tidak tahu. Hanya kata pengemudi taksi yang mengantar saya ke Terminal Giwangan setahun yang lalu, bercerita bahwa sangat-sangat merepotkan dan melelahkan bila mengantar tamu ke Malioboro dan sekitarnya saat liburan atau saat musim wisata anak sekolah. Lama sampainya dan lama baliknya.

Kepadatan lalu lintas juga terasa di Stasiun Lempuyangan. Jalan persis di depan stasiun benar-benar pas buat dua kendaraan. Sementara di sekitarnya banyak tempat penitipan motor, warung, pangkalan ojek, dan juga pangkalan taksi. Kepadatan akan terasa saat jam keberangkatan atau kedatangan kereta api.

Di luar kepadatan lalu lintas, Jogja masih tetap menarik. Tengok saja pangkas rambut di utara MM UGM, yang tetap bertahan hingga kini. Masih tetap ramah, rapi, memberikan layanan yang cepat dan harga yang tetap terjangkau. Atau  warung burjo dan indomie, yang kini mulai bersalin rupa menjadi warung makan di pilihan beragam menu. Atau angkringan yang tetap nyaman buat nongkrong dengan harga makanan yang terjangkau.

Pada April 2016 lalu, saya sempat diajak makan bakmi jawa yang maknyus. Bakmi godhog yang benar-benar lezat yang diolah dengan tungku arang kayu, dan masih dimasak satu persatu. Cara masak yang telaten dan tidak terburu-buru(bahkan di kampung saya di Kebumen, nyaris tidak ada lagi yang masaknya satu per satu). Butuh kesabaran untuk dapat menikmatinya. Namun saat menunggu telah siap sedia teh nasgitel yang bener-bener nikmat. Lokasi warung ini ada di antara stadion Maguwoharjo dengan Polsek Mlati(kalau tidak salah).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun