Dinukil dari voa-islamcom menyebutkan bahwa di masyarakat Jawa ada sebuah cara yang sudah menjadi budaya sampai hari ini, yaitu "Glembuk".
"Glembuk" dapat dimaknai sebagai sebuah perilaku seseorang dengan "ngojok-ngojoki supaya gelem"(merayu atau mempengaruhi secara individu supaya mau). Namun demikian disisi lain "Glembuk" memiliki konotasi yang kesannya sebuah pembohongan ("Ngapusi"), karena hanya merupakan sebuah janji belaka ("iming-iming) supaya mau menjadi pengikutnya.
Dilihat dari perspektif kehidupan politik "Glembuk"digunakan sebagai sebuah cara atau strategi dalam upaya merayu ,mengajak, membujuk dan mempengaruhi untuk menjadi pengikut dan sebagai pemilih walupun didalamnya ada upaya membohongi dengan harapan bisa menjadi pemenang dalam kontestasi penilihan pemimpin apapun bentuknya.
'Glembuk' dalam beberapa situasi merupakan sebuah metode yang dilakukan seolah dengan santun guna membujuk secara halus orang lain dalam tataran kelompok masyarakat maupun yang ditokohkan guna memberikan dukungannya disertai qdengan janji-janji sekalipun ujungnya hanya sebuah pengaharapan palsu (PHP) yang tidak lain hanya merupakan kebohongan belaka.
Â
Bujukan ini disertai sebuah janji misalnya akan diberikan jabatan atau bentuk imbalan, bantuan kemudahan tertentu atau bentuk lainnya yang pada dasarnya hanya rayuan (bahasa sekarang omong doang atau OmDo).
"Glembuk" pada intinya adalah sebuah perilaku yang sifatnya berpura-pura dengan seolah merendah untuk merangkul seseorang untuk percaya dan meyakini (trust) sehingga kemudian menjadi pengikutnya yang pada saatnya akan memperkuat  posisinya melalui cara dan  sikap halus.
*Umuk dan Glembuk Sebuah Strategi*
Dalam perspektif politik di tanah air , "glembuk" merupakan sebuah analogi politik transaksional yang melibatkan sebuah proses dengan pemberian janji dan bantuan tertentu ketika bersedia menjadi pengikut dan mendukung pada saat pemilihan dalam memenangkan kontestasi politik.
Pokitik transaksional dengan konsep glembuk pada dasarnya terjadi sebuah transaksi  dalam sebuah posisi dan ada imbal nilai tertentu yang disepakati (wani piro) yang sering digunakan bahasa transaksional.Sementara itu disisi lain Umuk dan Glembuk merupakan sebuah rangkaian dalam melakukan proses mempengaruhi dan mencari dukungan yang dalam aksinya dalam transaksional dengan melakukan sebuah cara halus seolah merendah untuk meningkatkan kualitas.
Dalam budaya masyarakat Jawa (Solo) "Umuk" merupakan representasi sebuah kesombongan dari kelompok elit tertentu.
Umuk, digambarkan sebagai sebuah kekuatan atau sesuatu yang menakjubkan dengan kesombongannya sehingga orang lain merasa bangga menjadi pengikutnya. Kesan kesederhanaan tidak pernah akan ditampilkan karena menjadikan orang lain tidak percaya.
Dengan demikian, tanpa perlawanan seseorang  akan ketakutan sendiri karena menyadari lawannya adalah orang kuat. Masyarakat-pun melihat "kesombongan" itu sebagai sebuah simbol kekuatan yang sulit dilawan.
Hal tersebut dijadikan sebuah alat gertakan agar lawannya gentar sehingga merasa tak tertandingi dan tidak bisa menjadi pemenang dengan melihat kekuatan yang dimiliki melalui umuk dan glembuk.